Selasa, 05 Mei 2009

KPK Minus Antasari

Oleh Saldi Isra

Komisi Pemberantasan Korupsi kembali dilanda musibah. Setelah
Suparman, penyidik KPK, menerima suap dalam menangani korupsi PT
Industri Sandang Nusantara, kini musibah menghadang Ketua KPK Antasari
Azhar terkait dengan kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali
Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

Meski status tersangka tidak terkait langsung dengan pelaksanaan tugas
KPK, kejadian yang menimpa Antasari memberikan beban psikologis
berbeda bagi KPK jika dibandingkan dengan kasus suap yang dilakukan
Suparman. Dan, beban itu kian berat dengan posisi Antasari sebagai
Ketua KPK.

Dengan musibah ini, banyak kalangan khawatir kejadian Antasari
potensial dimanfaatkan untuk mendiskreditkan sekaligus mendelegitimasi
KPK. Kekhawatiran itu masuk akal karena para perampok uang negara
tidak pernah merasa nyaman dengan KPK. Bahkan, beberapa episentrum
korupsi yang selama ini sulit disentuh penegak hukum merasa terancam
dengan kehadiran KPK.

Abaikan "warning"

Pada pengujung 2007, saat proses seleksi dan fit and proper test
pimpinan KPK generasi kedua sedang berlangsung, sejumlah kalangan yang
concern dengan pemberantasan korupsi berupaya me- warning tim seleksi
dan DPR untuk berhati-hati dalam memilih pimpinan KPK. Dalam Menjemput
Kematian KPK (Kompas, 5/12/2007) saya pernah mengemukakan, jika gagal
memahami signifikansi kehadiran KPK sebagai extraordinary body dalam
pemberantasan korupsi, hasil seleksi dan fit and propert test akan
menjadi kereta mayat yang bergerak menjemput kematian KPK.

Meski tulisan itu tidak eksplisit menyebut nama, warning itu salah
satunya ditujukan kepada Antasari. Bahkan, hasil rekam jejak
(tracking) yang dilakukan Juli-Oktober 2007, ICW dan sejumlah kalangan
meminta Antasari untuk tidak diloloskan. Namun, warning dan permintaan
itu tidak mampu mengubah keputusan politik saat itu. Celakanya, di
tengah penolakan itu, DPR justru memilih Antasari menjadi Ketua KPK.

Kejadian ini menambah panjang catatan kegagalan DPR dalam memilih
pejabat publik. Apalagi pada proses fit and proper test pimpinan KPK
generasi kedua, isu suap amat menyengat ke permukaan. Karena itu,
menjadi masuk akal jika ada pendapat yang mengatakan, ketidakmampuan
KPK menuntaskan skandal korupsi yang melibatkan anggota DPR merupakan
buah ketidakberesan proses fit and proper test.

Isolasi

Sebagai bagian dari upaya menyelamatkan institusi KPK, langkah cepat
pimpinan KPK yang lain dengan memberhentikan sementara Antasari
menjadi pilihan tak terelakkan. Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang KPK
menyatakan, dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Maka,
pemberhentian sementara itu harus dibaca sebagai langkah isolasi agar
kewenangan besar yang dimiliki KPK tidak disalahgunakan ketika
pimpinan KPK tersangkut tindak pidana.

Agar tindakan isolasi berjalan efektif, sesuai dengan perintah Pasal
32 Ayat (3) UU KPK, Presiden harus segera mengeluarkan surat
pemberhentian sementara Antasari. Surat pemberhentian presiden itu
menjadi penting agar langkah cepat pimpinan KPK tak dimaknai sebagai
cuti. Sebagaimana dilansir Kompas.com (3/5), Antasari menyampaikan
permohonan cuti kepada pimpinan KPK. Karena itu, pimpinan KPK
dilaksanakan secara presidium. Perlu dicatat, tidak ada istilah cuti
bagi pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana. Apalagi,
secara hukum, "cuti" dan "diberhentikan sementara" punya makna dan
konsekuensi berbeda.

Selain itu, langkah hukum terhadap Antasari harus dilakukan dengan
lebih intensif. Dalam kaitan itu, kepolisian harus segera
menyelesaikan proses awal agar lebih cepat diserahkan ke tahap
berikut. Dari spektrum yang ada, bisa jadi banyak pihak berkepentingan
dengan kasus Antasari. Karena itu, agar kasus ini tidak "masuk angin"
penyelesaian cepat dan tepat menjadi keniscayaan.

Tidak hanya itu, agar kasus Antasari tidak terlalu lama membebani KPK,
jika bukti-bukti keterlibatan cukup kuat, kasus ini bisa segera
dilimpahkan ke pengadilan. Sekiranya hal itu dilakukan, Antasari
segera diisolasi permanen dari KPK. Pasal 32 Ayat (1) Huruf c UU KPK
mengamanatkan, pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan apabila
menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.

Minus Antasari

Kesepakatan pimpinan KPK untuk sementara waktu "melepaskan" kewenangan
Ketua KPK tepat dilakukan untuk memberikan demarkasi tegas antara
Antasari dan KPK guna mempertahankan citra KPK dalam pemberantasan
korupsi. Dengan langkah itu, ke depan KPK akan berjalan tanpa
Antasari. Bahkan bukan tidak mungkin sekiranya kasusnya dilimpahkan ke
pengadilan, keberadaan Pasal 32 Ayat (1) Huruf c UU KPK segera akan
menamatkan karier Antasari di KPK.

Meski tindak pidana kejahatan yang disangkakan tidak langsung terkait
dengan tugas KPK, kasus yang menimpa Antasari tetap akan memberikan
image negatif bagi KPK. Agar hal itu tidak berdampak lebih buruk,
pimpinan KPK harus bekerja ekstra keras. Apalagi, dalam beberapa waktu
terakhir, performance KPK cenderung menurun. Dari sejumlah
perbincangan di antara sesama penggiat antikorupsi, Antasari dinilai
memberikan kontribusi atas penurunan kinerja KPK.

Terlepas dari penilaian itu, sebagai bagian dari penyelamatan KPK,
pimpinan KPK minus Antasari harus mampu memulihkan kepercayaan publik
dengan menuntaskan penyelesaian semua skandal korupsi yang
terbengkalai selama ini. Misalnya, kasus aliran dana YPPI Bank
Indonesia yang melibatkan sejumlah mantan petinggi BI dan elite
politik di DPR. Sejauh ini, KPK seperti kehilangan nyali menyentuh
anggota DPR yang terindikasi menerima aliran dana itu. Atau,
penyelesaian kasus Agus Condro yang untouchable tidak tentu rimbanya.

Sekiranya pimpinan KPK minus Antasari mampu menyelesaikan aneka
skandal korupsi yang tidak tuntas karena tebang pilih, harapan dan
kepercayaan publik tidak akan pernah pudar kepada KPK.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi FH
Unand, Padang


Klipin kompas.com

Jumat, 13 Maret 2009

Megawati Soekarnoputeri, Pemimpin Berkepribadian Kuat

Bagi yang baca artikel di bawah ini bisa mendapatkan informasi
perjalanan politik dari megawati soekarnoputeri.

salam, heri latief
amsterdam

Megawati Soekarnoputeri

Pemimpin Berkepribadian Kuat


Majalah
Forbes Edisi 4 September 2004 menempatkannya perempuan kedelapan
terkuat dunia. Dia pemimpin berkelas dunia. Seorang pendiam
berkepribadian emas. Presiden RI ke-5 ini teguh memegang prinsip,
konsisten dan visioner. Dia seorang pejuang sekaligus simbol dan
inspirasi reformasi. Perjuangannya menegakkan demokrasi (ketika
demokrasi terpasung) telah memicu keberanian tokoh-tokoh lainnya ikut
dalam gerbong reformasi, yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh dan
pahlawan reformasi. Jika jujur, harus diakui bahwa tanpa putri pertama
Bung Karno, ini reformasi di negeri ini belum tentu terjadi.

Pengakuan
dunia bahwa Megawati Soekarnoputri seorang pemimpin berkelas dunia,
tercermin dari posisinya sebagai salah seorang perempuan terkuat dunia.
Sebagaimana dipublikasikan Majalah Forbes edisi 6 September 2004, Calon
Presiden yang didukung Koalisi Kebangsaan (PDI-P, Partai Golkar, PPP
dan PDS) pada Pemilu Presiden putaran kedua 20 September 2004, ini
berada di posisi kedelapan dari 100 wanita terkuat dunia.
Dia
sejajar dengan perempuan pemimpin berkelas dunia lainnya, seperti Sonia
Gandhi (India) urutan ketiga, Presiden Filipina Gloria Arroyo (9),
Perdana Menteri Banglades Begum Khaleda Zia (14), Presiden Sri Lanka
Chandrika Kumaratunga (44), pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi
(45) dan Mantan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher (21).

Pengakuan
ini menggambarkan realitas perjuangan dan kepemimpinan Megawati sangat
kuat di mata dunia. Dia pemimpin berkelas dunia. Pengakuan dunia ini,
jika mau jujur, sepatutnya mencelikkan mata, akal budi, hati dan nurani
setiap orang (baik kawan maupun lawan politik) di dalam negeri, untuk
melihat dan mengakui gerak perjuangan dan kepemimpinan Presiden
Republik Indonesia kelima ini. Terutama sejak ia berani terjun ke dunia
politik saat hak-hak politik di negeri ini terkekang.

Tanpa
bermaksud berorientasi menyalahkan masa-masa lalu bangsa ini, Megawati
yang pendiam (tak banyak bicara) itu adalah tokoh perempuan pemberani
meretas jalan demokrasi dan reformasi saat tokoh-tokoh lainnya (laki
atau perempuan) seperti tak punya nyali berhadapan dengan Pak Harto,
penguasa Orde Baru selama 32 tahun.

Realitas empirik
membuktikan, Megawati yang memiliki kharisma sebagai putri pertama
Proklamator Bung Karno, adalah tokoh pemberani yang paling berpengaruh
melawan tindakan tidak demokratis dari pemerintah yang cenderung
otoriter ketika itu. Saat tokoh-tokoh nasional (termasuk yang kemudian
menjadi tokoh dan pahlawan reformasi) masih membungkuk-bungkuk di
hadapan Pak Harto, Megawati dengan caranya sendiri, tanpa banyak
bicara, secara konsisten telah berani melawan tanpa kekerasan. Dia
menempuh jalan demokrasi dan hukum.

Saat tokoh yang lain
masih membeo atau diam pasif tak berani, Megawati yang dikekang tampil
berani menghadapi berbagai tantangan dan risiko memasuki gelanggang
politik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Dia all out dengan
keyakinan untuk menegakkan demokrasi dan reformasi di NKRI ini, tanpa
kekerasan dan tanpa balas dendam. (Sikap tanpa balas dendamnya telah
pula kemudian disalahartikan banyak politisi dan pengamat sebagai
kelemahan untuk merongrong kepemimpinannya).

Cobalah kita
sejenak menoleh ke belakang. Siapa-siapa tokoh yang berani melawan Pak
Harto sebelum Megawati memukul genderang perlawanan terbuka pada
Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya tahun 1993? Hanya sedikit tokoh yang
berani bertindak dan bersuara melawan kehendak pemerintah ketika itu.

Barulah
setelah Megawati mengadakan perlawanan terbuka terhadap kekuasaan yang
represif, nyali tokoh-tokoh lainnya mulai bangkit. Sebagian pada
mulanya ikut menambangi, mensupport dan membela perjuangan (perlawanan)
Megawati. Dia telah menjadi simbol dan inspirasi perlawanan terhadap
kekuasaan yang cenderung otoriter ketika itu. Bukan hanya politisi yang
mulai terinspirasi dan terpicu keberaniannya ketika itu, tetapi juga
para pengamat yang sebelumnya bungkam atau malah memuja-muji, juga para
pengacara dan mahasiswa.

Mereka
yang satu garis perjuangan atau tidak dengan Megawati, terinspirasi
untuk bangkit bersama. Mereka berkumpul dan berani berorasi menumpahkan
segala kemarahan terhadap penguasa yang represif di Kantor DPP PDI
Jalan Diponegoro, Jakarta. Keberanian yang dibayar mahal, karena kantor
itu diserang aparat dan orang-orang tertentu atas kehendak penguasa.
Peristiwa tahun 1996 itu, kemudian dikenal dengan sebutan Kudatuli
(Kasus 27 Juli).

Peristiwa itu, tak menyurutkan perlawanan
Megawati. Dia sangat sadar bahwa dibutuhkan seorang pemimpin sebagai
simbol perlawanan untuk menegakkan demokrasi, keadilan dan
kesejahteraan rakyat di negeri ini. Jika dia surut, gerbong perlawanan
yang sudah makin membesar di belakangnya itu pun akan berhenti. Jika
gerbong perlawanan itu berhenti, maka reformasi pun tidak akan terjadi.
Maka dia pun terus berjuang dengan caranya yang tidak banyak bicara,
tapi terus melangkah maju ke medan tempur sesengit apa pun dan
menghadapi risiko apa pun itu. Dia kuat bahkan sungguh kuat. Dia
perempuan keibuan berjiwa emas dan berhati baja.

Kongres Surabaya
Sebagai
suatu gambaran betapa teguh dan kuatnya Megawati dalam menghadapi
tekanan penguasa ketika itu, tercermin dari cuplikan perjuangannya pada
Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, Desember 1993. Ketika itu,
pemerintah menghendaki Budi Hardjono menjadi Ketua Umum DPP PDI
menggantikan "si anak yang mulai nakal" Surjadi. Tapi, Megawati yang
telah membunyikan genderang menyatakan kesediaan memimpin PDI membuat
niat pemerintah mendudukkan boneka di tampuk pimpinan PDI menghadapi
perlawanan. Si putri pendiam Megawati mendapat dukungan penuh dari
hampir semua cabang dalam pemandangan umum. Resminya, juridis
formalnya, hanya tinggal menunggu sidang pemilihan ketua umum.

Melihat
dukungan mutlak kepada Megawati itu, pemerintah melalui Menteri Dalam
Negeri yang berperan sebagai pembina politik dalam negeri bersama
Kasospol ABRI dan segenap jajaran Kakan Sospol daerah tingkat I dan II
seluruh Indonesia yang juga "mengawal" para peserta kongres ke
Surabaya, melakukan manuver mengulur-ulur waktu sidang pemilihan ketua
umum sampai masa izin kongres berakhir pukul 24.

Suasana di
arena kongres ketika itu, sangat tertekan. Aparat keamanan dengan
berbagai perlengkapannya sudah lalu lalang dan berjaga-jaga, layaknya
siaga mengepung musuh negara. Malam pukul 20.00 saat peserta kongres
makin tertekan dan sebagian besar sudah meninggalkan arena kongres,
Megawati tetap bertahan di tempat siap mengikuti setiap detik
perkembangan. Ketika itu tersiar isu akan terjadi kerusuhan akibat
ricuhnya kongres.

Tak
lama, seorang aparat dengan naik panser menemui Megawati. Dengan
bersikap siap dan sigap sebagai seorang prajurit, aparat berpakaian
tempur itu menyampaikan pesan atasan kepada Megawati agar keluar dari
arena kongres dengan naik panser demi keamanan. Sejenak Megawati
menatap aparat itu, lalu dengan suara tegas mempersilahkan keluar
sebentar. Aparat itu menurut berdisiplin.

`Setelah itu, Megawati
menitikkan air mata. Dia menangisi nasib bangsanya. Dia tahu bahwa hal
itu hanya taktik busuk penguasa yang tanpa sungkan mengebiri demokrasi.
Lalu, setelah menghapus air mata, dia meminta si aparat suruhan itu
masuk kembali. Dengan berwibawa, tak terkesan baru menitikkan air mata,
dia menyatakan sikapnya dengan tegas bahwa apa pun yang terjadi tak
akan meninggalkan arena kongres sampai akhir. "Laporkan kepada
atasanmu," katanya tegas layaknya panglima tertinggi.

Kenapa
dia menolak "perlindungan" aparat itu? Sebab dia pemberani tanpa
kekerasan. Dia siap menanggung segala risiko tanpa melawannya dengan
kekerasan. Dia menyadari jika meninggalkan arena kongres maka sekali
lagi lonceng kematian demokrasi akan berdentang. Bisa saja penguasa
akan melakukan sesuatu untuk menyulut kemarahan massa untuk menciptakan
kerusuhan yang akan dijadikan sebagai alasan pembunuhan terhadap
demokrasi. Selain itu, dia sadar, jika menuruti "perlindungan" yang
ditawarkan aparat, dia akan diteriakkan meninggalkan kongres yang akan
dijadikan alasan gagalnya kongres.

Sekitar pukul 22.00, dua jam
sebelum masa izin kongres berakhir, Megawati bangkit melakukan sesuatu
yang tak terduga oleh siapa pun, baik petinggi partai yang loyal
kepadanya, maupun yang berlawanan dengannya terutama pemerintah. Dia
melakukan konfrensi pers. Saat itu, dia mengeluarkan pernyataan politik
yang menegaskan bahwa secara de facto dia telah terpilih menjadi Ketua
Umum PDI periode 1993-1998. Kemudian secara de jure akan ditetapkan
dalam suatu Munas atau sejenisnya di Jakarta dalam waktu dekat. Kepada
semua peserta kongres dan para simpatisan dihimbau untuk pulang ke
tempat masing-masing dalam suasana damai, tertib dan tenteram.

Pemerintah
dan para lawan politiknya terperangah, tak menduga pernyataan politik
yang demikian penting dan brilian itu. Tidak ada lagi alasan merekayasa
sesuatu untuk dijadikan kambing hitam kerusuhan akibat ricuh dan
molornya jadwal kongres itu.
Itulah genderang perlawanan terbuka
dari Megawati. Genderang itu tidak hanya disambut oleh kader dan
simpatisan PDI Mega, tetapi disambut berbagai lapisan, lintas agama,
lintas golongan dan lintas partai (termasuk kader Golkar yang progresif
dan ingin menegakkan demokrasi secara sungguh-sungguh).

Kemudian,
Munas PDI di Jakarta tahun 1994 pun terselenggara dan mengukuhkan
Megawati sebagai Ketua Umum PDI 1993-1998. Pemerintah yang dipimpin
seorang jenderal dan ketika itu menggunakan Golkar sebagai alat politik
(perpanjangan tangan militer di arena politik) dan terkenal demikian
"apik" membentengi kekuasaannya dengan berbagai cara, tampak merasa
kecolongan.

Tampak
tak menduga si putri pendiam itu akan membunyikan genderang perlawanan.
Sehingga kepemimpinan Megawati terus ditekan dan dirongrong. Sampai
akhirnya pemerintah berhasil memfasilitasi penyelenggaraan Kongres Luar
Biasa PDI di Medan Juni 1996 yang menobatkan kembali Surjadi sebagai
Ketua Umum PDI. Namun PDI pimpinan Megawati tak mengakui
penyelenggaraan Kongres Luar Biasa di Medan itu. Sehingga timbul
kepengurusan ganda PDI di pusat sampai ke daerah.

DPP PDI Mega
berkantor di Jalan Diponegoro 57, Menteng, Jakarta Pusat, kantor resmi
DPP PDI. Sementara DPP PDI Surjadi atas dukungan pemerintah berupaya
merebut kantor tersebut. Maka berduyun-duyunlah orang dari berbagai
aliran dan golongan berorasi di kantor itu. Tidak hanya kader dan
sipatisan PDI Mega tetapi dari berbagai golongan yang sebelumnya merasa
tertekan dan kemudian terpicu keberaniannya melakukan perlawanan
terbuka kepada penguasa yang represif.

Lalu,
terjadilah Kasus 27 Juli 1996 yang kemudian dikenal dengan sebutan
Kudatuli. Perebutan kantor DPP PDI yang memakan banyak korban dan
dikira penguasa akan memadamkan keberanian perlawanan Megawati,
ternyata malah menyalakan keberanian sebagian besar rakyat, tokoh dan
mahasiswa untuk mengadakan perlawanan bersama.

Bangkitlah
mahasiswa berdemonstrasi. Hampir seluruh kampus di Indonesia melakukan
demonstrasi. Sampai Pemilu 1997, mahasiswa terus demo di dalam kampus.
Karena ketika itu, mahasiswa dilarang demonstrasi di luar kampus.
Setelah Pemilu 1997, makin banyak pula tokoh yang berani tampil
menyuarakan reformasi. Sebagian mereka kemudian digelari sebagai
pahlawan reformasi yang bersama mahasiswa memaksa Presiden Soeharto
meletakkan jabatan.

Apalagi
setelah Presiden Soeharto lengser bertaburanlah tokoh-tokoh reformis,
termasuk dari kalangan militer yang menjadi tulang punggung kekuasaan
Orde Baru yang militeristik. Bahkan sebagian jenderal yang memegang
jabatan penting ketika itu, kemudian menyebut diri sebagai pemimpin
menuju perubahan. Mereka menyebut diri reformis tulen dan bahkan dengan
lantangnya menyebut Megawati dan tokoh reformis sipil lainnya sebagai
reformis abu-abu dan reformis palsu.

Mereka mengklaim bahwa
pemerintahan sipil di bawah pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan
Megawati sangat lemah maka dibutuhkan pemimpin dari jajaran militer.
Mereka tampak sudah terlatih melakukan rekayasa, ucapan dan tindakan
populis untuk mempengaruhi opini publik demi berkuasanya kembali
orang-orang militer di negeri ini.

Beratnya beban "sampah"
(krisis multidimensional) warisan penguasa militeristik masa lalu,
telah membuat gerak pemerintahan sipil tak mudah bergerak cepat. Hal
ini pula diteriakkan para tokoh rekayasa populis untuk mempengaruhi
opini publik bahwa seolah pemerintahan sipil tidak mungkin membawa
bangsa ini melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih aman, adil
dan sejahtera.

Namun,
berhasilnya pasangan Mega-Hasyim masuk putaran kedua Pemilihan Presiden
20 September 2004 nanti, telah melahirkan kesadaran bahwa masih sangat
banyak orang yang tidak mau terkecoh oleh agitasi, tutur kata yang
kedengarannya manis-manis, rekayasa populis, untuk mengembalikan
dominasi militer di negeri ini. Rupanya mereka pun secara jernih
melihat bahwa pemerintahan sipil adalah pilihan terbaik untuk mencegah
bangsa ini kembali ke masa lalu, sekaligus membawa bangsa ini menuju
zona demokrasi, damai dan sejahtera.

Pemimpin Berkarakter
Jika
makin didalami, Megawati adalah seorang pemimpin berkepribadian kuat.
Tak mudah dipengaruhi oleh siapa pun jika tidak sesuai dengan nurani
dan visinya tentang cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Baginya visi dan misi para pemimpin bangsa ini tak bisa lain
dari visi dan misi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Perubahan
visi dan misi yang berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 justru harus
dicegah.

Dengan
prinsip itu, Megawati tak mau didikte oleh kekuatan mana pun, baik dari
dalam negeri apalagi dari luar negeri. Dia dengan lantang menolak
tindakan balas dendam Amerika Serikat menyerang Afganistan dan Irak,
kendati dia setuju untuk melawan terorisme global.

Dia bertekad
ingin membangun hubungan bilateral maupun multilateral dengan
bangsa-bangsa di dunia dalam kesetaraan. Hubungan internasional,
baginya, adalah mutlak tetapi harus dalam kerangka kepentingan nasional
masing-masing dalam kesetaraan. Maka tak heran bila kepemimpinannya
yang berkarakter kuat tak disukai negara-negara maju, termasuk Amerika
Serikat di bawah kepemimpinan Bush, yang secara kasat mata tampak
membutuhkan pemimpin boneka di negara lain, seperti di Afganistan dan
Irak. Sehingga tak heran bila negara maju itu mengorbitkan bahkan
mungkin saja mendanai calon pemimpin alternatif yang kemungkinan lebih
mudah dikendalikan.

Di
dalam negeri, keutuhan NKRI, bagi Megawati merupakan prinsip yang harus
dipertahankan para pemimpin bangsa. Dia tidak ingin ada air mata dan
satu nyawa pun di negeri ini yang hilang. Sebagaimana terjadi di Aceh,
dia ingin tak ada air mata di negeri serambi Mekkah itu. Maka dia pun
mengawali penyelesaian Aceh dengan jalan diplomasi damai. Namun, ketika
jalan damai itu menemui jalan buntu, dia pun memberlakukan darurat
militer. Keputusan yang sesungguhnya sangat berat baginya, tetapi harus
ditempuh demi keutuhan NKRI. Itu suatu keputusan seorang perempuan yang
kuat.

Kepemimpinnya yang berkarakter kuat dan visioner, terlihat
juga dari "ketegaannya" menolak grasi para terpidana mati kasus
narkoba. Dia mengaku sebagai seorang ibu, hatinya menangis ketika
mengambil keputusan menolak grasi itu. Tapi demi masa depan anak-anak
bangsa, dia harus mengambil keputusan yang secara nurani kemanusiaan
sesungguhnya tak dikehendakinya.

Selain
itu, kepemimpinnya yang berkarakter kuat, terlihat juga dari beberapa
keputusannya yang sangat tidak populis. Keputusan mengenai kenaikan
harga BBM, misalnya, yang mengikuti standar harga dunia. Beberapa tokoh
dan pengamat yang mengandalkan kebijakan populis menentang kebijakan
itu yang kemudian ditambangi demonstrasi beberapa kelompok mahasiswa.

Megawati
tampak sangat menyadari ketidakpopuleran keputusan soal kenaikan BBM,
yang berdampak langsung pada kenaikan harga barang dan jasa lainnya,
itu. Tetapi dia kuat dan bersikukuh mengambil keputusan itu untuk
membangun kemandirian bangsa ini secara komparatif dan kompetitif
dengan bangsa-bangsa di dunia. Baginya, ssudah saatnya subsidi diakhiri
dengan mengandalkan pinjaman (utang) luar negeri. Keputusan yang nyaris
tak pernah diambil pemerintah sebelumnya, sehingga bangsa ini sulit
melepaskan diri dari ketergantungan pada utang luar negeri.

Dia
juga seorang yang jujur dan tulus. Antara lain terlihat ketika kampanye
Pemilu Legislatif berlangsung, PT Telkom mengumumkan kenaikan tarif.
Suatu tindakan naif dari kacamata politik, apalagi dari kacamata pihak
yang menabukan kata kenaikan tarif dan menggantinya dengan kata
penyesuaian. Tapi dia membiarkan jadual kenaikan itu bergulir apa
adanya tanpa harus dipolitisir, misalnya menundanya sampai Pemilu
selesai. Jika dipandang dari sudut pemimpin yang piawai merekayasa,
tentu ini tindakan yang salah.

Dia juga seorang pemimpin yang
berdedikasi dan memiliki loyalitas tinggi kepada komitmen yang telah
disepakati. Lihat saja Kabinet Gotong-Royong yang pelangi dan dibentuk
atas komitmen bersama lintas partai. Kendati telah nyata-nyata ada di
antara menterinya telah menunjukkan sikap mendukung Capres lain, bahkan
mungkin ada yang telah mengkhianati kepercayaannya, dia tetap memegang
komitmen mempertahankan kabinet pelanginya. Padahal sebagai presiden
yang menggenggam hak prerogatif untuk itu, bisa saja dia dengan mudah
mengganti menteri-menteri tersebut. Hanya pemimpin berkepribadian kuat
yang mampu bersikap seperti itu terhadap orang (menteri) yang bisa saja
merongrong kepemimpinannya.

Bukan
itu saja! Salah satu keputusannya yang kontroversial dan mengejutkan
banyak pihak adalah restunya kepada Sutiyoso untuk terpilih kembali
menjabat Gubernur DKI Jakarta. Pada proses pencalonan, Megawati ditekan
oleh berbagai pihak agar jangan merestui Sutiyoso yang menjabat Pangdam
Jaya saat terjadinya Kasus 27 Juli 1996. Demonstrasi kader dan
simpatisan PDI-P marak. Tapi ketika pemilihan berlangsung, demonstrasi
simpatisan PDI-P itu berhenti. Mengejutkan para lawan politiknya.
Sayang keputusan merestui Sutiyoso ini harus dibayar mahal, sebab
Sutiyoso tak tampak berpihak kepada wong cilik. Namun dari kasus ini,
sebagai seorang pemimpin, Megawati telah menampakkan sosoknya yang kuat
dengan kepribadiannya sendiri.

Dengan
intensitas kontroversi yang hampir sama, adalah desakan publik agar dia
mengganti Jaksa Agung. Namun, dia seperti tidak terpengaruh dengan
masih mempertahankannya. Jika ingin mengambil tindakan populis saja,
seorang pemimpin sudah akan mengganti Jaksa Agung itu. Namun, tampaknya
Megawati melihat bahwa saat ini Jaksa Agung itu bukan satu-satunya
titik lemah penegakan hukum di negeri ini. Menurutnya, banyak kasus
korupsi yang telah dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan, ternyata di
pengadilan divonis bebas.

Bukti lain kepemimpinnya yang
berkarakter kuat adalah kerelaannya menerima keputusan politik SU-MPR
2001 yang memenangkan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan
keikhlasannya menerima jabatan Wakil Presiden, kendati PDIP sebagai
pemenang Pemilu. Hanya saja duet "bersaudara" ini tak bertahan lama
akibat keteledoran Gus Dur yang tampak terlalu meremehkannya.

Bukan
saja Gus Dur yang pernah terkesan meremehkan kemampuan kepemimpinan
Megawati. Beberapa politisi dan pengamat juga seringkali menganggapnya
lemah dan tak punya visi. Padahal jika dicermati secara jujur, dia
seorang pemimpin yang kuat, yang berani mengatakan ya atau tidak pada
waktunya. Visioner, konsisten dan tidak mencla-mencle.

Hanya
saja, sifat pendiamnya, yang selain merupakan kekuatan juga menjadi
kelemahan. Karena terkesan kurang berkomunikasi dengan rakyat. Sehingga
lawan-lawan politiknya memanfaatkan sifat pendiam itu sebagai pertanda
kelemahan dan ketidakmampuan.
Maka, jika Megawati belakangan ini
meningkatkan komunikasi kepada publik adalah suatu bukti pula bahwa dia
seorang pemimpin berjiwa besar. Jiwa besarnya, kesabarannya, yang
selalu diam tatkala dicaci-maki, makin bercahaya saat dia menyadari
kelemahan diamnya, selain merupakan kekuatannya.

Kesetaraan Jender
Megawati
adalah sebuah bukti sejarah di mana perempuan mampu memimpin sebuah
negeri. Dia memang bukan satu-satunya perempuan Indonesia yang tampil
sebagai pemimpin. Pada abad ke-14 Tribuana Tungga Dewi adalah peletak
dasar zaman keemasan Majapahit. Sultanah Saifatuddin Syah di Aceh pada
abad ke-16-17, merupakan sultan perempuan pertama di negeri beragama
Islam itu yang mampu memegang tampuk pemerintahan hingga 35 tahun.

Kini,
Megawati diakui dunia sebagai pemimpin perempuan yang kuat dalam ukuran
berskala dunia. Bangsa Indonesia, tidak hanya perempuan, patut
berbangga. Megawati menunjukkan bahwa perempuan pun berhak dan mampu
memimpin suatu negara. Meski isu jender kadang terangkat ke permukaan
seiring pencalonannya sebagai presiden, dia menjawab dengan berupaya
membuktikan kepemimpinannya mengangkat harkat dan martabat rakyat
Indonesia, termasuk kaum perempuan.

Seperti
pernah dikemukakannya di dalam seminar nasional “Kepemimpinan Wanita
Pada Millenium III" di Universitas Gadjah Mada tahun 1999: "Gerakan
penyadaran dan pencerahan akan hak-hak kaum wanita tidak hanya melulu
ditujukan kepada masyarakat kaum wanita saja, tetapi lebih jauh lagi
justru upaya untuk melakukan pencerahan lebih diintensifkan dan
diperlebar ke dalam wilayah kehidupan kaum laki-laki.

Menurut,
Megawati, kaum perempuan harus dengan penuh arif dan bijak membantu
kaum laki-laki agar mereka dapat bebas dan terbatas dari pola pikir
lama yang hanya menempatkan kaum lelaki pada suatu tingkat peradaban
yang memprihatinkan. â"Dalam melakukan hal ini tidak perlu dijalankan
dengan cara-cara yang berdampak melecehkan dan merendahkan martabat
kaum laki-laki," katanya.

Megawati menawarkan suatu strategi
yang meletakkan dan memosisikan wanita sebagai ibu bangsa, sebagai ibu
masyarakat dan sebagai ibu sejati. Dengan pijakan strategi ini,
menurutnya, maka tidak ada alasan bagi kaum wanita untuk melakukan
tuntutan-tuntutan yang hanya akan menimbulkan reaksi penolakan dari
kaum laki-laki yang masih cenderung berpikir dan berpaling ke belakang.

Megawati
juga menganjurkan agar perempuan lebih percaya diri, karena perempuan
yang percaya diri tidak pernah gentar untuk bersaing dan menyaingi kaum
laki-laki dalam konteks persaingan yang sehat. Sedangkan pria yang
percaya diri tidak akan pernah merasa khawatir bila bersaing dan
tersaingi oleh seorang wanita.

Keberhasilan Megawati, menurut
Rika Saraswati, staf Fakultas Hukum dan anggota Pusat Studi Wanita
Unika Soegijapranata Semarang, tidak semata-mata berada di pundaknya,
tetapi dipengaruhi juga oleh kinerja orang-orang di sekitarnya, kaum
perempuan dan kaum laki-laki.

Pilpres Putaran Kedua
Sebelum
Pilpres (Pemilu Presiden) putaran pertama, 5 Juli 2004, tidak sedikit
pengamat politik yang meragukan pasangan Capres-Cawapres Megawati
Soekarnoputri dan KH Hasyim Muzadi (Mega-Hasyim) lolos ke putaran
kedua. Tapi prakiraan para pengamat itu terbantah. Mega-Hasyim meraih
26,65 persen suara, berada di urutan kedua. Urutan pertama diraih
pasangan Susilo BY-Jusuf Kalla (keduanya dibesarkan dalam Kabinet
Gotong-Royong) dengan 33,5 persen suara.

Posisi
Susilo BY dan Jusuf Kalla, yang di atas angin sebagai urutan teratas
telah membuat Susilo BY terkesan meremehkan mesin politik partai-partai
besar. Berbeda dengan Mega-Hasyim yang dianggap berbagai pihak sebagai
underdog membuka pintu komunikasi politik lebar-lebar dengan
partai-partai politik, sehingga melahirkan Koalisi Kebangsaan.

Perihal
koalisi ini, Megawati mendasarinya pada prinsip bahwa pemerintahan yang
akan datang telah diamanatkan oleh perubahan yang dilakukan dalam
konstitusi UUD 1945 melalui amandemen yakni, suatu pemerintahan yang
mekanisme antara eksekutif, legislatif dan yudikatif diharapkan
mempunyai suatu kemapanan, suatu keseimbangan, sehingga dengan demikian
suatu pemerintahan yang solid bisa berjalan dengan baik.

Megawati
mengungkap bahwa dirinya seringkali berdiskusi dengan Wakil Presiden
Hamzah Haz yang juga Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Pak Hamzah, aneh juga kalau ada orang yang bilang bahwa partai (sistem
partai politik) tidak diperlukan, karena yang diperlukan itu dukungan
rakyat," kata Megawati tanpa menyebut nama siapa yang dimaksud.

"Bapak
bisa endak bayangkan kalau saya dipilih oleh rakyat saja, lalu rakyat
suatu saat merasa dukungannya itu tidak diperlukan, lalu mereka
lepaskan dukungannya, kan saya tinggal sendirian. Tetapi, kalau saya
didukung oleh aspirasi rakyat yang dikumpulkan melalui partai-partai
politik, maka, tentunya yang akan menjadi suatu tanggungjawab dan
kewajiban dari partai politik itu adalah bagaimana mereka akan
memberikan dukungannya dan bagaimana mereka akan menyurutkan
dukungannya. Rasanya di seluruh dunia ini, entah saya salah baca apa
tidak, tetapi rasanya sistem pemerintahan itu tetap melalui partai
politik," ungkap Megawati tentang percakapannya dengan Hamzah Haz.

Dalam
hal ini, Megawati memberi pencerahan politik kepada publik. Banyak
pihak menangkap makna pernyataan itu. Antara lain, bahwa orang yang
ingin meraih dukungan rakyat tanpa melalui mekanisme sistem partai
politik suatu saat akan menjalankan kekuasaannya sendirian tanpa
mekanisme yang demokratis, sebab tidak mungkin mengumpulkan rakyat
setiap saat mengambil keputusan.

Tapi kalau seseorang didukung
rakyat melalui mekanisme dan sistem kepartaian, dia akan menjalankan
kekuasaan dalam sistem yang demokratis melalui partai politik, sehingga
dia tidak menjalankan kekuasaan sendirian alias diktator dan otoriter.

Kebersediaannya membagi kekuasaan, menunjukkan
dirinya tidak berpotensi menjadi seorang diktator yang otoriter. Dia
seorang pemimpin yang kuat dengan kepercayaan membagi kewenangan kepada
orang lain baik sebagai mitra maupun sebagai pembantu (menteri).
Kendati dia telah pernah dikhianati oleh dua-tiga orang menteri
(pembantunya), dia tampak tetap pada pendirian untuk mempercayai orang
lain.

Koalisi Kebangsaan dalam kaitan pembagian kekuasaan adalah
wujud dari kemampuan mempercayai orang lain. Ini menunjukkan
kepribadian yang kuat dan tidak selalu mencurigai orang lainnya.
Berbeda dengan orang yang berkepribadian labil dan tak segan
mengkhianati kepercayaan orang lain, dia akan cenderung sangat sulit
mempercayai orang lain dan cenderung menggenggam kekuasaan di tangannya
sendiri.

Bermodalkan Koalisi Kebangsaan yang akan mengggalang
dukungan rakyat sampai ke akar rumput, pasangan Mega-Hasyim ini
diperkirakan akan memenangkan Pemilu Presiden putaran kedua, 20
September 2004. Kemenangan Mega-Hasyim sekaligus akan membuktikan bahwa
mesin politik partai benar-benar telah menjadi sistem penyaluran
aspirasi rakyat secara efektif dan demokratis.

Derap perubahan
Perihal
masalah pembaruan Indonesia, Megawati sangat yakin bahwa semua
menyadari bahwa betapa luasnya lingkup pembaruan yang dicita-citakan
itu. "Secara substansi, kita mengelola perubahan yang menyangkut segi
kelembagaan dan prosedur dalam keseluruhan tatanan. Sekarang kita
ibarat telah berada di tengah derap perubahan ke arah pembaruan itu.
Kita gembira, karena betapa pun kecilnya, kita telah memulai langkah
yang besar," papar Megawati.

Bagai bola salju, lanjutnya, aura
pembaruan atau reformasi tersebut terus menggelinding dan meluas.
Memang harus diakui, acapkali kita sendiri tertegun dengan banyaknya
akibat sampingan yang timbul dan tidak jarang menimbulkan masalah baru
yang bahkan tidak kalah rumit dampaknya. "Berbagai kesulitan yang
saat-saat ini kita hadapi bahkan lebih banyak berkaitan dengan masalah
baru itu," ujar Megawati.

Semula,
papar Megawati, dikatakan bahwa semua itu sekadar eforia yang harus
dipahami dan disikapi dengan sabar. Tetapi, ketika waktu terus berlalu,
semua kian merasakan berlangsungnya banyak hal yang dianggap kurang
menguntungkan. "Di tengah berbagai persoalan dalam gerak perubahan itu
sendiri, kita juga harus mengelola ekses-ekses yang mengikutinya. Di
antaranya dan yang selama ini sering kita rasakan adalah makin kurang
imbangannya sikap dan perilaku kita bila dibandingkan dengan tujuan,
langkah perubahan, dan pembaruan yang dihasilkan," ujarnya.

"Kita
sering kecewa bahwa langkah perubahan tidak kita laksanakan dalam
bentuk dan dengan cara sebagaimana kita harapkan. Begitu pula ketika
dalam rangka pembaruan kita mendambakan kehidupan ke arah yang lebih
demokratis dan mandiri, yang hadir adalah faham tentang kebebasan yang
seolah tanpa batas, dan menyulut pertikaian yang nyaris
memorakporandakan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Kita juga
menghadapi kegetiran baru karena tampilnya keadaan yang kadangkala
dirasa lebih mundur dibandingkan kondisi umum yang pernah kita miliki
di masa sebelum era ini," kata Megawati.

Megawati
menyadari masih belum cukup waktu untuk melakukan perbaikan dan
perubahan berarti di bidang politik dan hukum. Warisan persoalan yang
mengakar dari masa lampau akhirnya malah tampak menjerat langkah
sendiri. Ketenangan penampilannya sebagai pemimpin tidak selalu
menjamin ketenangan di dada masyarakat.

Dia menyadari bahwa
banyak pihak yang tidak puas terhadap kinerjanya, yang menurut sebagian
orang lambat. "Waktu permulaan, ah... Presiden Megawati itu orangnya
lambat, tidak mau cepat memutuskan. Tidak mau ngomong. Ya, biar saja.
Yang penting, ke depannya lebih berguna, daripada buru-buru,
cepat-cepat," katanya dalam suatu acara. Megawati pun optimis, bila
rakyat mempercayainya memimpin bangsa ini lima tahun ke depan, akan
melanjutkan pemulihan ekonomi yang sudah tercapai dengan tingkat
pertumbuhan yang lebih tinggi. â–ºti/crs

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/megawati/biografi/02.shtml

Jumat, 20 Februari 2009

Hillary: Relasi RI-AS Diperluas

Jakarta, Kompas - Ke depan, relasi RI-AS akan diperluas hingga ke
segala lapisan, terutama ke lapisan tingkat bawah. Pertemuan dan
relasi tidak akan lagi sebatas di tingkat elite, seperti tingkat
pemimpin dan menteri. Hal ini menjadi program Pemerintah AS dalam
berhubungan dengan Indonesia.

Demikian dikatakan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton di Jakarta,
Kamis (19/2), dalam wawancara dengan wartawan Indonesia di kediaman
Duta Besar AS untuk Indonesia Cameron Hume.

Hillary mengatakan hal itu menjawab persepsi bahwa setelah sekian lama
memiliki hubungan baik dengan Indonesia, AS terpaku pada hubungan di
tingkat elite. Hubungan ini tidak banyak bermanfaat bagi rakyat dari
akar rumput, juga tak memberi banyak manfaat soal pemberantasan
korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan lainnya.

"Saya kira ini adalah satu hal yang penting," kata Hillary yang
mengatakan siap menerima masukan-masukan. "Ke depan akan lebih banyak
kontak yang tidak lagi sebatas di tataran elite, sebagaimana Anda
utarakan,†kata Hillary yang akan melanjutkan kunjungan ke Korea
Selatan, kemudian ke China.

"Terus terang, inilah yang akan ditawarkan Pemerintah AS di bawah
pemerintahan Presiden Obama bersama saya dalam konteks relasi
internasional. Asia dan Asia Tenggara itu penting. Kita tidak hanya
akan terpaku pada hubungan dengan China yang pengaruhnya membesar,"
kata Hillary seraya menambahkan, perluasan hubungan RI-AS sudah dia
bahas juga dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

AS tidak lagi mempertahankan hubungan yang fokus di satu arah, yakni
trans-Atlantik (AS-Eropa). "Dalam rangka ini, dengan Indonesia akan
banyak program pertukaran, termasuk pertukaran mahasiswa dan kerja
sama universitas," kata Hillary.

Akan ada banyak lagi kerja sama di bidang lain yang bertujuan
mendorong pembangunan di segala bidang di Indonesia. Pembangunan dan
perkembangan Indonesia tidak saja penting dalam hubungan kedua negara.

Kemajuan Indonesia sebagai salah satu negara Muslim yang begitu
terbuka, di sisi lain akan bisa dijadikan sebagai model bagi negara
lain. "Walau demokrasi di Indonesia masih tergolong baru, sudah banyak
pencapaian yang didapat," kata Hillary.

"Di sini, kesempatan bagi wanita, misalnya, begitu terbuka di segala
bidang. Ini sebuah pencapaian yang bagus, sementara di negara lain
kemajuan yang didapat belum seperti Indonesia," kata Hillary yang
senang melihat bahwa dalam setiap pertemuannya, ia selalu melihat
keberadaan tokoh-tokoh wanita.

Hillary juga menjawab pertanyaan, bagaimana politisi AS yang pernah
bersaing, bahkan bertarung keras, di saat pemilu, kemudian malah bisa
bekerja sama, bukan terus bertikai. "Kami memiliki demokrasi yang
lebih maju. Dengan demokrasi seperti itu, kami menyadari, setelah
pertarungan usai, kita harus melangkah maju, termasuk bekerja sama
dengan para pesaing," kata Hillary.

Kemitraan komprehensif

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengatakan pentingnya kemitraan
komprehensif antara Indonesia dan AS. Presiden juga meminta AS lebih
mendorong penyelesaian konflik antara Palestina dan Israel.

Pesan itu disampaikan Presiden Yudhoyono ketika menerima Menlu AS
Hillary Clinton di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis.

"Presiden Yudhoyono menyebutkan, pertemuan dengan Hillary Clinton
sebagai pertemuan yang wonderful dan produktif," ujar Juru Bicara
Kepresidenan Dino Patti Djalal seusai pertemuan Presiden dan Hillary.

Gagasan kemitraan ini digulirkan Presiden Yudhoyono pada kunjungannya
ke AS, November 2008. "Setelah itu konsep ini menggelinding. Sudah ada
pembahasan di tingkat departemen dan ada semacam makalah yang
disampaikan kedua belah pihak. Isinya mencoba merinci apa saja elemen
dari kemitraan komprehensif ini," ujar Dino.

Dino menegaskan, kemitraan yang akan dibangun tak hanya akan berkaitan
dengan satu dimensi kerja sama, tetapi juga mencakup berbagai aspek,
seperti ekonomi, pendidikan, teknologi, dan kesehatan.

Palestina merdeka

Sejumlah isu regional dan internasional juga dibahas Presiden
Yudhoyono dengan Hillary. Presiden, antara lain, menekankan perlunya
mempercepat upaya untuk mewujudkan negara Palestina yang merdeka dan
berdaulat.

"Posisi Indonesia mendukung solusi dua negara, Palestina dan Israel,
dapat hidup berdampingan dalam kondisi damai. Target berdirinya negara
Palestina merdeka ini tahun lalu, tetapi, karena berbagai hal, tidak
tercapai. Presiden tentu kecewa. AS perlu memberi perhatian besar
terhadap upaya penyelesaian konflik ini," ujar Dino.

Presiden Yudhoyono menyebutkan, saat ini terbuka momentum untuk
menghidupkan kembali perundingan Palestina-Israel. Momentum
perundingan, antara lain, muncul dengan adanya pemilihan umum yang
akan digelar di Israel, pemerintahan baru di AS, serta gencatan
senjata di Gaza meski gencatan ini masih rapuh.

Menurut Dino, Hillary menekankan bahwa Pemerintah AS saat ini merasa
perlu mendengarkan lebih banyak masukan dari dunia internasional. "Hal
ini tecermin sekali dalam pembicaraan Hillary dengan Presiden
Yudhoyono," ujarnya.

Dalam pertemuan dengan Hillary, Presiden Yudhoyono kembali mengundang
Presiden AS Barack Obama untuk berkunjung ke Indonesia. (mon/nel/DAY)

Kliping : kompas.com

Kamis, 19 Februari 2009

Megawati "Ikat" Caleg PDI-P dengan Kontrak Politik

JAKARTA, KAMIS - Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri
mendeklarasikan kontrak politik yang mengikat para caleg PDI
Perjuangan. Kontrak politik, yang dinamakannya "Kontrak Politik untuk
Perubahan itu", dideklarasikan hari Kamis (19/2), di Mega Institute,
Jakarta Pusat.

Dalam kontrak politik itu, Mega mengatakan, mengklausulkan larangan
untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilu legislatif, jika target
perubahan gagal dicapai.

"Jika target perubahan gagal dicapai, sesuai kontrak politik, anggota
PDI Perjuangan yang terpilih sebagai anggota DPR 2009-2014 dilarang
mencalonkan diri kembali pada pemilu legislatif DPR 2014," demikian
Megawati membacakan kontrak politiknya.

Selanjutnya, Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung membacakan tiga isu
perubahan yang dijanjikan, yaitu sembako murah, menciptakan jutaan
lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. "Semua calon
legislatif dari Aceh sampai Papua diminta menaati kontrak politik
ini," kata Anung.

Saat ditanya mengapa sanksi larangan harus menunggu lima tahun ke
depan, Mega mengatakan, kinerja kader PDI Perjuangan di DPR dipantau
sesuai dengan aturan partai. Sebab, dalam kontrak politik tak
disebutkan rentang waktu untuk mengukur kegagalan.

Perwakilan caleg DPR PDI Perjuangan akan menandatangani kontrak
politik, disaksikan Megawati.

Inggried Dwi Wedhaswary

Kliping : kompas.com

Rabu, 18 Februari 2009

Hillary dan Hubungan RI-AS

Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton hari Rabu (18/2) ini
dijadwalkan tiba di Jakarta untuk lawatan singkat hingga Kamis esok.

Meski singkat, kita yakin ada banyak makna dari lawatan ini. Bahkan
lebih dari sekadar makna, lawatan Menlu AS ini kiranya juga
mendatangkan manfaat bagi kedua negara.

Pertama-tama harus kita katakan, tamu kita kali ini adalah sosok yang
istimewa. Selain dikenal sebagai sosok cerdas, Hillary adalah mantan
Ibu Negara AS, dan tahun silam adalah salah satu calon presiden
tangguh yang, kalau saja tidak muncul fenomena Barack Obama, boleh
jadi juga bisa menjadi Presiden AS.

Sebagai menlu, Hillary jelas merupakan salah satu pilar utama dalam
pemerintahan Obama, yang "oleh berbagai kalangan di duniaâ" diharapkan
bisa membawa perbaikan. Oleh Presiden Obama diyakini ia mendapat tugas
untuk tidak saja memperbaiki citra AS yang selama beberapa tahun
terakhir terpuruk, tetapi juga untuk meningkatkan hubungan AS dengan
banyak negara di dunia.

Pilihan untuk melawat ke Asia lebih dulu, dan bukannya Eropa,
menyiratkan adanya pergeseran prioritas di pemerintahan AS. Tidak
sedikit kalangan yang ingin melihat, pemerintahan Obama juga tidak
lagi terpaku pada perang melawan terorisme.

Dimasukkannya Indonesia dalam lawatan pertama, selain ke Jepang, Korea
Selatan, dan China, ini diyakini terkait dengan keinginan AS untuk
meningkatkan hubungan dengan negara-negara Muslim. Indonesia sebagai
negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia jelas diakui potensinya
oleh AS. Terpulang kepada Indonesia sendiri, seberapa besar antusiasme
kita untuk ambil peranan sebagai komunikator antara AS dan
negara-negara Islam.

Ketika hingga sekarang persoalan Palestina belum terselesaikan,
peluang Indonesia untuk berkontribusi bagi upaya penyelesaian konflik
ini terbuka lebar. Namun jelas, semua upaya diplomasi hanya akan
berpeluang efektif kalau kita terbuka dan berkolaborasi dengan AS.

Pada sisi lain, kita juga melihat, AS punya kepentingan sendiri untuk
menguatkan kembali pengaruh dan peranannya di kawasan ini. Tentu ini
terkait dengan semakin kuatnya pengaruh China dalam beberapa tahun
terakhir. Hillary tentu akan mendapatkan penjelasan soal China ke
depan saat berada di Beijing nanti.

Menjadi keinginan kita, harapan yang tumbuh seiring dengan naiknya
pemerintahan Obama bisa berbuah dalam wujud terciptanya saling
pengertian baru antara AS dan bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia, AS masih bisa
berperan banyak untuk membantu mengurai kekusutan ekonomi yang kini
merebak di dunia.

Lawatan Hillary kita harapkan juga membuka peluang bagi Indonesia
untuk memberikan kontribusi di panggung internasional dan mendapatkan
mitra berpengaruh untuk membantu meredam krisis ekonomi saat ini.

Kliping : tajuk kompas.com

Q & A dan Kemiskinan

by Fauzan S.

Seseorang berkata kepada juru cerita itu, "Ceritakanlah padaku
tentang kemiskinan...."
Lalu sang juru cerita berkisah tentang kuis Who Wants To Be A
Millionaire.

Ungkapan "pengalaman adalah guru yang paling berharga" nyata betul
dalam novel Q & A karangan Vikas Swarup. Ram Mohammad Thomas adalah
nama yang ganjil karena campuran nama dari tiga agama: Hindu, Islam
dan
Kristen. Hidupnya memang penuh warna dan liku-liku. Sejak bayi sudah
yatim piatu dan hidup di sebuah panti karena ibu yang tak pernah
dikenalnya meninggalkannya di pintu sebuah gereja. Lalu hidupnya pun
mengalami banyak pengalaman berharga sejak dia diasuh oleh seorang
Pastur bernama Romo Timothy, lalu hidup bersama seorang sahabat dekat,
Salim, dari satu lingkungan kumuh ke lingkungan kumuh lainnya.
Membunuh
perampok di kereta ekspres, jatuh cinta kepada pelacur, bekerja
sebagai
bartender, menggagalkan sebuah perampokan di rumah majikannya, tinggal
dengan seorang bintang film yang pamornya sudah pudar, bekerja sebagai
pramu-wisata di Taj Mahal.

Pengalaman-pengalaman sepanjang sembilan belas tahun itulah yang
memungkinkan Ram Mohammad Thomas, yang di film Slumdog Billionaire
bernama Jamal Malik, menjawab 12 bahkan 13 pertanyaan yang diajukan
dalam sebuah kuis yang mirip kuis Who Wants to be a Millionaire dan
memenangkan satu miliar Rupee. Namun pihak penyelengara kuis W3B (Who
Will Win a Billion) tidak senang atas kemenangan Ram, mereka memaksa
Ram menandatangani pernyataan bahwa dirinya berlaku curang dalam kuis
itu. Di tengah penyiksaan agar Ram mengaku, muncullah bidadari
penyelamat, seorang pengacara perempuan yang mencoba mendampingi kasus
Ram.

Lantas pengacara tersebut meminta Ram menceritakan segala hal tentang
kasus tersebut. Apakah Ram memang menyewa seseorang yag memberinya
kode
untuk jawaban-jawaban tersebut? Apakah Ram menjawab sekenanya dan
hanya
beruntung saja? Ternyata Ram menjawab bahwa dia memang beruntung.
Namun
bukan beruntung karena menjawab sekenanya, melainkan beruntung bahwa
pertanyaan yang diajukan itu semuanya dia ketahui jawabannya. Dan
jawaban-jawaban pertanyaan itu didapat melalui serangkaian pengalaman
yang telah dia lewati sepanjang sebelas tahun hidupnya. Pertanyaan
tentang pemukul kritet yang berhasil memukul sekian pukulan bisa
dijawab karena sobatnya pernah tinggal bersama pembunuh bayaran yang
gila olahraga kriket. Jawaban tentang penemu pistol diperoleh saat dia
terpaksa membunuh seorang perampok yang telah menggasak duitnya
sebanyak 50 ribu Ruppe. Pertanyaan tentang sejarah Taj Mahal juga dia
tahu karena pernah menjadi pramu wisata selama dua tahun . Pertanyaan
tentang aktris yang pernah memenangi pernghargaan juga dengan mudah
dia
jawab lantaran Ram pernah menjadi pembantu aktris tersebut.

Seluruh lembar hidup yang dia lewati dari lingkungan kumuh ke
lingkungan kumuh lainnya, dengan berbagai pekerjaan kelas rendah ke
pekerjaan keals rendah lainnya membuahkan sebuah pengalaman yang kaya
warna. Dalam novel tersebut Ram pun berkata, "Bagi orang sepertiku,
otak tak dibutuhkan. Hanya tangan dan kaki yang diperlukan untuk
memperoleh sejumlah hal". Vikas memaparkan sebuah gambaran kemiskinan
di salah satu sudut India, mulai dari Mumbai, Agra, Delhi dan kota
lain. Yang ternyata tidak begitu berbeda jauh dengan Indonesia dan
Jakarta. Di kisah itu ada juga potongan cerita tentang seorang mafia
anak-anak jalanan yang membuat sejumlah anak menjadi cacat agar bisa
menjadi pengemis yang menghasilkan banyak uang. Seorang anak yang
memiliki suara merdu dibuat buta lalu dilepas di gerbong-gerbong
kereta
untuk menangguk belas kasihan orang-orang.

Kuis semacam Who Wants To Be a Millionaire memang membuat air liur
siapa saja menetes karena gambaran uang yang begitu besar menumbuhkan
berbagai impian. Terlebih rakyat miskin yang bahkan memegang uang
seratus ribu rupiah saja belum pernah. Wajah kemiskinan yang
disandingkan dengan tayangan kuis yang nilai hadiahnya berjuta-juta
itu
tergolong ironis. Vikas dan sutradara Danny Boyle kemudian mengemas
kondisi ironis itu dengan pas. Lewat novel Q & A kita diperhadapkan
pada sebuah gambaran kemiskinan yang cukup detail lengkap dengan darah
dan air mata. Sedangkan dalam Slumdog Billionaire, kita disuguhkan
kisah
cinta yang harus terkatung-katung sekian lama lantaran kemiskinan
memisahkan dua hati yang terpaut itu yang akhirnya disatukan kembali
melalui kuis Who Wants to be A Millionaire yang di India disebut Kaun
Banega Crorepati.

Tentu saja tidak akan pernah ada kuis Who Wants To Be a Slumdog.
Siapa Ingin Menjadi Miskin.

Selasa, 17 Februari 2009

Gubernur Boleh Langsung!

Oleh Adhie M Massardi

BELOK kiri boleh langsung! Ini bunyi rambu lalu lintas yang dipasang
di banyak perempatan di seluruh Indonesia di zaman Orba. Ahli bahasa
Indonesia Yus Badudu (almarhum) yang dikenal kritis, karena sering
juga mengeritik cara berbahasa para pejabat negara, termasuk Presiden
Soeharto yang hobi mengubah akhiran "kan" menjadi "ken", kemudian
meluruskan kalimat di rambu lalu lintas itu.
Kata Yus Badudu, sekitar 20 tahun lalu, kalimat yang benar dan efektif
untuk rambu itu adalah: "Belok kiri langsung". Bila pembenarannya
"yang belok kiri boleh langsung", menjadi terlalu bertele-tele.
Padahal agar mudah dipahami, rambu harus sederhana. Koreksian ini
kemudian memang menjadi acuan instansi pembuat rambu lalu-lintas,
DLLAJR
Tapi pasti bukan gara-gara petunjuk "jalan ke kiri lebih cepat" karena
tidak dihambat, bila di zaman 'kegelapan" itu, anak-anak muda di
kampus-kampus,seperti Budiman Sudjatmiko dkk, memilih "jalan kiri".
Juga bukan ekses rambu itu bila sekarang banyak orang mau serba
langsung. Langsung kaya, langsung presiden, langsung gubernur,
langsung bupati, langsung wali kota, langsung anggota DPR, langsung…!
Baru ketika "jalan gubernur" mandeg di Jawa Timur hingga
berbulan-bulan dan menghabiskan uang jajan begitu besar, kita
terperanjat. Cuma bagi Mendagri Mardiyanto yang di masa lalu pernah
menjadi anggota ABRI – kekuatan utama penopang rezim Orba – cara
memecahkan kebuntuan itu mudah saja. Bikin rambu baru: Gubernur tidak
langsung. Seperti di masa kegelapan demokrasi itu!
Maksudnya, untuk gubernur mending ditunjuk presiden saja. Murah
meriah. Tidak ruwet. Gubernur kan kepanjangan tangan pemerintah,
begitu alasannya. Lho, memangnya bupati, walikota, camat, kepala desa,
bukan kepanjangan tangan pemerintah? Kalau bukan kepanjangan tangan
pemerintah, lalu kepanjangan tangan siapa?
Padahal kita tahu, yang bikin jalan menuju bupati macet, jalan ke wali
kota crowded, jalan masuk legislatif stagnan, bukan gara-gara rambunya
yang salah. Tapi akibat jalannya berlubang-lubang, becek, banyak
preman pengutip uang semaunya. Tidak sedikit juga bergajulan yang
menebar "ranjau paku" hingga bikin ban kempes sehingga dia harus
berhenti di tengah jalan.
Makanya, kata para sopir taksi yang pernah saya ajak ngobrol, kalau
jalannya diperbaiki, rambu-rambunya dikontrol dengan benar oleh
petugas yang andal dan kredibel, dan hanya yang punya SIM (surat ijin
menjadi) legislatif, bupati, wali kota, gubernur, presiden, yang boleh
lewat situ, niscaya semua akan lancar dan bermanfaat karena memang
bermartabat.
Jadi bukan menutup jalan itu, lalu memerintahkan kita untuk balik
arah, kembali ke zaman kegelapan!
Demokrasi memang butuh proses. Dan kita tidak boleh meningalkan
demokrasi hanya karena prosesnya yang menyakitkan. Bukankah kita
sekarang bisa berjalan, bisa berlari, karena ketika balita dulu, saat
belajar berjalan, juga jatuh bangun dengan lutut berdarah-darah?
Bayangkan bila orangtua kita dulu menyetop proses berjalan kita hanya
karena anak kesayangannya tidak ingin terluka?
Saya sepakat dengan karib saya Wimar Witoelar. Demokrasi itu ibarat
mesin pompa air. Pada mulanya, yang keluar memang lumpur, lalu air
campur lumpur. Setelah itu baru air jernih. Di tempat-tempat tertentu,
ada yang airnya bisa langsung diminum karena mengandung mineral.
Benar, dalam menempuh jalan demokrasi, kita memang terlalu
tergesa-gesa. Bayangkan, hanya dengan modal pengalaman "milih langsung
pemimpin tingkat kelurahan", kita pakai untuk memilih presiden
langsung. Setelah itu baru milih langsung bupati, wali kota, gubernur.
Jadi jangan kaget bila semua yang terpilih sekarang ini masih
berlumuran lumpur. Munculnya "kuala lumpur" di Sidoarjo, bisa jadi,
untuk menandai semua itu.

Kliping : Forum Pembaca Kompas