Jumat, 13 Maret 2009

Megawati Soekarnoputeri, Pemimpin Berkepribadian Kuat

Bagi yang baca artikel di bawah ini bisa mendapatkan informasi
perjalanan politik dari megawati soekarnoputeri.

salam, heri latief
amsterdam

Megawati Soekarnoputeri

Pemimpin Berkepribadian Kuat


Majalah
Forbes Edisi 4 September 2004 menempatkannya perempuan kedelapan
terkuat dunia. Dia pemimpin berkelas dunia. Seorang pendiam
berkepribadian emas. Presiden RI ke-5 ini teguh memegang prinsip,
konsisten dan visioner. Dia seorang pejuang sekaligus simbol dan
inspirasi reformasi. Perjuangannya menegakkan demokrasi (ketika
demokrasi terpasung) telah memicu keberanian tokoh-tokoh lainnya ikut
dalam gerbong reformasi, yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh dan
pahlawan reformasi. Jika jujur, harus diakui bahwa tanpa putri pertama
Bung Karno, ini reformasi di negeri ini belum tentu terjadi.

Pengakuan
dunia bahwa Megawati Soekarnoputri seorang pemimpin berkelas dunia,
tercermin dari posisinya sebagai salah seorang perempuan terkuat dunia.
Sebagaimana dipublikasikan Majalah Forbes edisi 6 September 2004, Calon
Presiden yang didukung Koalisi Kebangsaan (PDI-P, Partai Golkar, PPP
dan PDS) pada Pemilu Presiden putaran kedua 20 September 2004, ini
berada di posisi kedelapan dari 100 wanita terkuat dunia.
Dia
sejajar dengan perempuan pemimpin berkelas dunia lainnya, seperti Sonia
Gandhi (India) urutan ketiga, Presiden Filipina Gloria Arroyo (9),
Perdana Menteri Banglades Begum Khaleda Zia (14), Presiden Sri Lanka
Chandrika Kumaratunga (44), pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi
(45) dan Mantan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher (21).

Pengakuan
ini menggambarkan realitas perjuangan dan kepemimpinan Megawati sangat
kuat di mata dunia. Dia pemimpin berkelas dunia. Pengakuan dunia ini,
jika mau jujur, sepatutnya mencelikkan mata, akal budi, hati dan nurani
setiap orang (baik kawan maupun lawan politik) di dalam negeri, untuk
melihat dan mengakui gerak perjuangan dan kepemimpinan Presiden
Republik Indonesia kelima ini. Terutama sejak ia berani terjun ke dunia
politik saat hak-hak politik di negeri ini terkekang.

Tanpa
bermaksud berorientasi menyalahkan masa-masa lalu bangsa ini, Megawati
yang pendiam (tak banyak bicara) itu adalah tokoh perempuan pemberani
meretas jalan demokrasi dan reformasi saat tokoh-tokoh lainnya (laki
atau perempuan) seperti tak punya nyali berhadapan dengan Pak Harto,
penguasa Orde Baru selama 32 tahun.

Realitas empirik
membuktikan, Megawati yang memiliki kharisma sebagai putri pertama
Proklamator Bung Karno, adalah tokoh pemberani yang paling berpengaruh
melawan tindakan tidak demokratis dari pemerintah yang cenderung
otoriter ketika itu. Saat tokoh-tokoh nasional (termasuk yang kemudian
menjadi tokoh dan pahlawan reformasi) masih membungkuk-bungkuk di
hadapan Pak Harto, Megawati dengan caranya sendiri, tanpa banyak
bicara, secara konsisten telah berani melawan tanpa kekerasan. Dia
menempuh jalan demokrasi dan hukum.

Saat tokoh yang lain
masih membeo atau diam pasif tak berani, Megawati yang dikekang tampil
berani menghadapi berbagai tantangan dan risiko memasuki gelanggang
politik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Dia all out dengan
keyakinan untuk menegakkan demokrasi dan reformasi di NKRI ini, tanpa
kekerasan dan tanpa balas dendam. (Sikap tanpa balas dendamnya telah
pula kemudian disalahartikan banyak politisi dan pengamat sebagai
kelemahan untuk merongrong kepemimpinannya).

Cobalah kita
sejenak menoleh ke belakang. Siapa-siapa tokoh yang berani melawan Pak
Harto sebelum Megawati memukul genderang perlawanan terbuka pada
Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya tahun 1993? Hanya sedikit tokoh yang
berani bertindak dan bersuara melawan kehendak pemerintah ketika itu.

Barulah
setelah Megawati mengadakan perlawanan terbuka terhadap kekuasaan yang
represif, nyali tokoh-tokoh lainnya mulai bangkit. Sebagian pada
mulanya ikut menambangi, mensupport dan membela perjuangan (perlawanan)
Megawati. Dia telah menjadi simbol dan inspirasi perlawanan terhadap
kekuasaan yang cenderung otoriter ketika itu. Bukan hanya politisi yang
mulai terinspirasi dan terpicu keberaniannya ketika itu, tetapi juga
para pengamat yang sebelumnya bungkam atau malah memuja-muji, juga para
pengacara dan mahasiswa.

Mereka
yang satu garis perjuangan atau tidak dengan Megawati, terinspirasi
untuk bangkit bersama. Mereka berkumpul dan berani berorasi menumpahkan
segala kemarahan terhadap penguasa yang represif di Kantor DPP PDI
Jalan Diponegoro, Jakarta. Keberanian yang dibayar mahal, karena kantor
itu diserang aparat dan orang-orang tertentu atas kehendak penguasa.
Peristiwa tahun 1996 itu, kemudian dikenal dengan sebutan Kudatuli
(Kasus 27 Juli).

Peristiwa itu, tak menyurutkan perlawanan
Megawati. Dia sangat sadar bahwa dibutuhkan seorang pemimpin sebagai
simbol perlawanan untuk menegakkan demokrasi, keadilan dan
kesejahteraan rakyat di negeri ini. Jika dia surut, gerbong perlawanan
yang sudah makin membesar di belakangnya itu pun akan berhenti. Jika
gerbong perlawanan itu berhenti, maka reformasi pun tidak akan terjadi.
Maka dia pun terus berjuang dengan caranya yang tidak banyak bicara,
tapi terus melangkah maju ke medan tempur sesengit apa pun dan
menghadapi risiko apa pun itu. Dia kuat bahkan sungguh kuat. Dia
perempuan keibuan berjiwa emas dan berhati baja.

Kongres Surabaya
Sebagai
suatu gambaran betapa teguh dan kuatnya Megawati dalam menghadapi
tekanan penguasa ketika itu, tercermin dari cuplikan perjuangannya pada
Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, Desember 1993. Ketika itu,
pemerintah menghendaki Budi Hardjono menjadi Ketua Umum DPP PDI
menggantikan "si anak yang mulai nakal" Surjadi. Tapi, Megawati yang
telah membunyikan genderang menyatakan kesediaan memimpin PDI membuat
niat pemerintah mendudukkan boneka di tampuk pimpinan PDI menghadapi
perlawanan. Si putri pendiam Megawati mendapat dukungan penuh dari
hampir semua cabang dalam pemandangan umum. Resminya, juridis
formalnya, hanya tinggal menunggu sidang pemilihan ketua umum.

Melihat
dukungan mutlak kepada Megawati itu, pemerintah melalui Menteri Dalam
Negeri yang berperan sebagai pembina politik dalam negeri bersama
Kasospol ABRI dan segenap jajaran Kakan Sospol daerah tingkat I dan II
seluruh Indonesia yang juga "mengawal" para peserta kongres ke
Surabaya, melakukan manuver mengulur-ulur waktu sidang pemilihan ketua
umum sampai masa izin kongres berakhir pukul 24.

Suasana di
arena kongres ketika itu, sangat tertekan. Aparat keamanan dengan
berbagai perlengkapannya sudah lalu lalang dan berjaga-jaga, layaknya
siaga mengepung musuh negara. Malam pukul 20.00 saat peserta kongres
makin tertekan dan sebagian besar sudah meninggalkan arena kongres,
Megawati tetap bertahan di tempat siap mengikuti setiap detik
perkembangan. Ketika itu tersiar isu akan terjadi kerusuhan akibat
ricuhnya kongres.

Tak
lama, seorang aparat dengan naik panser menemui Megawati. Dengan
bersikap siap dan sigap sebagai seorang prajurit, aparat berpakaian
tempur itu menyampaikan pesan atasan kepada Megawati agar keluar dari
arena kongres dengan naik panser demi keamanan. Sejenak Megawati
menatap aparat itu, lalu dengan suara tegas mempersilahkan keluar
sebentar. Aparat itu menurut berdisiplin.

`Setelah itu, Megawati
menitikkan air mata. Dia menangisi nasib bangsanya. Dia tahu bahwa hal
itu hanya taktik busuk penguasa yang tanpa sungkan mengebiri demokrasi.
Lalu, setelah menghapus air mata, dia meminta si aparat suruhan itu
masuk kembali. Dengan berwibawa, tak terkesan baru menitikkan air mata,
dia menyatakan sikapnya dengan tegas bahwa apa pun yang terjadi tak
akan meninggalkan arena kongres sampai akhir. "Laporkan kepada
atasanmu," katanya tegas layaknya panglima tertinggi.

Kenapa
dia menolak "perlindungan" aparat itu? Sebab dia pemberani tanpa
kekerasan. Dia siap menanggung segala risiko tanpa melawannya dengan
kekerasan. Dia menyadari jika meninggalkan arena kongres maka sekali
lagi lonceng kematian demokrasi akan berdentang. Bisa saja penguasa
akan melakukan sesuatu untuk menyulut kemarahan massa untuk menciptakan
kerusuhan yang akan dijadikan sebagai alasan pembunuhan terhadap
demokrasi. Selain itu, dia sadar, jika menuruti "perlindungan" yang
ditawarkan aparat, dia akan diteriakkan meninggalkan kongres yang akan
dijadikan alasan gagalnya kongres.

Sekitar pukul 22.00, dua jam
sebelum masa izin kongres berakhir, Megawati bangkit melakukan sesuatu
yang tak terduga oleh siapa pun, baik petinggi partai yang loyal
kepadanya, maupun yang berlawanan dengannya terutama pemerintah. Dia
melakukan konfrensi pers. Saat itu, dia mengeluarkan pernyataan politik
yang menegaskan bahwa secara de facto dia telah terpilih menjadi Ketua
Umum PDI periode 1993-1998. Kemudian secara de jure akan ditetapkan
dalam suatu Munas atau sejenisnya di Jakarta dalam waktu dekat. Kepada
semua peserta kongres dan para simpatisan dihimbau untuk pulang ke
tempat masing-masing dalam suasana damai, tertib dan tenteram.

Pemerintah
dan para lawan politiknya terperangah, tak menduga pernyataan politik
yang demikian penting dan brilian itu. Tidak ada lagi alasan merekayasa
sesuatu untuk dijadikan kambing hitam kerusuhan akibat ricuh dan
molornya jadwal kongres itu.
Itulah genderang perlawanan terbuka
dari Megawati. Genderang itu tidak hanya disambut oleh kader dan
simpatisan PDI Mega, tetapi disambut berbagai lapisan, lintas agama,
lintas golongan dan lintas partai (termasuk kader Golkar yang progresif
dan ingin menegakkan demokrasi secara sungguh-sungguh).

Kemudian,
Munas PDI di Jakarta tahun 1994 pun terselenggara dan mengukuhkan
Megawati sebagai Ketua Umum PDI 1993-1998. Pemerintah yang dipimpin
seorang jenderal dan ketika itu menggunakan Golkar sebagai alat politik
(perpanjangan tangan militer di arena politik) dan terkenal demikian
"apik" membentengi kekuasaannya dengan berbagai cara, tampak merasa
kecolongan.

Tampak
tak menduga si putri pendiam itu akan membunyikan genderang perlawanan.
Sehingga kepemimpinan Megawati terus ditekan dan dirongrong. Sampai
akhirnya pemerintah berhasil memfasilitasi penyelenggaraan Kongres Luar
Biasa PDI di Medan Juni 1996 yang menobatkan kembali Surjadi sebagai
Ketua Umum PDI. Namun PDI pimpinan Megawati tak mengakui
penyelenggaraan Kongres Luar Biasa di Medan itu. Sehingga timbul
kepengurusan ganda PDI di pusat sampai ke daerah.

DPP PDI Mega
berkantor di Jalan Diponegoro 57, Menteng, Jakarta Pusat, kantor resmi
DPP PDI. Sementara DPP PDI Surjadi atas dukungan pemerintah berupaya
merebut kantor tersebut. Maka berduyun-duyunlah orang dari berbagai
aliran dan golongan berorasi di kantor itu. Tidak hanya kader dan
sipatisan PDI Mega tetapi dari berbagai golongan yang sebelumnya merasa
tertekan dan kemudian terpicu keberaniannya melakukan perlawanan
terbuka kepada penguasa yang represif.

Lalu,
terjadilah Kasus 27 Juli 1996 yang kemudian dikenal dengan sebutan
Kudatuli. Perebutan kantor DPP PDI yang memakan banyak korban dan
dikira penguasa akan memadamkan keberanian perlawanan Megawati,
ternyata malah menyalakan keberanian sebagian besar rakyat, tokoh dan
mahasiswa untuk mengadakan perlawanan bersama.

Bangkitlah
mahasiswa berdemonstrasi. Hampir seluruh kampus di Indonesia melakukan
demonstrasi. Sampai Pemilu 1997, mahasiswa terus demo di dalam kampus.
Karena ketika itu, mahasiswa dilarang demonstrasi di luar kampus.
Setelah Pemilu 1997, makin banyak pula tokoh yang berani tampil
menyuarakan reformasi. Sebagian mereka kemudian digelari sebagai
pahlawan reformasi yang bersama mahasiswa memaksa Presiden Soeharto
meletakkan jabatan.

Apalagi
setelah Presiden Soeharto lengser bertaburanlah tokoh-tokoh reformis,
termasuk dari kalangan militer yang menjadi tulang punggung kekuasaan
Orde Baru yang militeristik. Bahkan sebagian jenderal yang memegang
jabatan penting ketika itu, kemudian menyebut diri sebagai pemimpin
menuju perubahan. Mereka menyebut diri reformis tulen dan bahkan dengan
lantangnya menyebut Megawati dan tokoh reformis sipil lainnya sebagai
reformis abu-abu dan reformis palsu.

Mereka mengklaim bahwa
pemerintahan sipil di bawah pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan
Megawati sangat lemah maka dibutuhkan pemimpin dari jajaran militer.
Mereka tampak sudah terlatih melakukan rekayasa, ucapan dan tindakan
populis untuk mempengaruhi opini publik demi berkuasanya kembali
orang-orang militer di negeri ini.

Beratnya beban "sampah"
(krisis multidimensional) warisan penguasa militeristik masa lalu,
telah membuat gerak pemerintahan sipil tak mudah bergerak cepat. Hal
ini pula diteriakkan para tokoh rekayasa populis untuk mempengaruhi
opini publik bahwa seolah pemerintahan sipil tidak mungkin membawa
bangsa ini melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih aman, adil
dan sejahtera.

Namun,
berhasilnya pasangan Mega-Hasyim masuk putaran kedua Pemilihan Presiden
20 September 2004 nanti, telah melahirkan kesadaran bahwa masih sangat
banyak orang yang tidak mau terkecoh oleh agitasi, tutur kata yang
kedengarannya manis-manis, rekayasa populis, untuk mengembalikan
dominasi militer di negeri ini. Rupanya mereka pun secara jernih
melihat bahwa pemerintahan sipil adalah pilihan terbaik untuk mencegah
bangsa ini kembali ke masa lalu, sekaligus membawa bangsa ini menuju
zona demokrasi, damai dan sejahtera.

Pemimpin Berkarakter
Jika
makin didalami, Megawati adalah seorang pemimpin berkepribadian kuat.
Tak mudah dipengaruhi oleh siapa pun jika tidak sesuai dengan nurani
dan visinya tentang cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Baginya visi dan misi para pemimpin bangsa ini tak bisa lain
dari visi dan misi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Perubahan
visi dan misi yang berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 justru harus
dicegah.

Dengan
prinsip itu, Megawati tak mau didikte oleh kekuatan mana pun, baik dari
dalam negeri apalagi dari luar negeri. Dia dengan lantang menolak
tindakan balas dendam Amerika Serikat menyerang Afganistan dan Irak,
kendati dia setuju untuk melawan terorisme global.

Dia bertekad
ingin membangun hubungan bilateral maupun multilateral dengan
bangsa-bangsa di dunia dalam kesetaraan. Hubungan internasional,
baginya, adalah mutlak tetapi harus dalam kerangka kepentingan nasional
masing-masing dalam kesetaraan. Maka tak heran bila kepemimpinannya
yang berkarakter kuat tak disukai negara-negara maju, termasuk Amerika
Serikat di bawah kepemimpinan Bush, yang secara kasat mata tampak
membutuhkan pemimpin boneka di negara lain, seperti di Afganistan dan
Irak. Sehingga tak heran bila negara maju itu mengorbitkan bahkan
mungkin saja mendanai calon pemimpin alternatif yang kemungkinan lebih
mudah dikendalikan.

Di
dalam negeri, keutuhan NKRI, bagi Megawati merupakan prinsip yang harus
dipertahankan para pemimpin bangsa. Dia tidak ingin ada air mata dan
satu nyawa pun di negeri ini yang hilang. Sebagaimana terjadi di Aceh,
dia ingin tak ada air mata di negeri serambi Mekkah itu. Maka dia pun
mengawali penyelesaian Aceh dengan jalan diplomasi damai. Namun, ketika
jalan damai itu menemui jalan buntu, dia pun memberlakukan darurat
militer. Keputusan yang sesungguhnya sangat berat baginya, tetapi harus
ditempuh demi keutuhan NKRI. Itu suatu keputusan seorang perempuan yang
kuat.

Kepemimpinnya yang berkarakter kuat dan visioner, terlihat
juga dari "ketegaannya" menolak grasi para terpidana mati kasus
narkoba. Dia mengaku sebagai seorang ibu, hatinya menangis ketika
mengambil keputusan menolak grasi itu. Tapi demi masa depan anak-anak
bangsa, dia harus mengambil keputusan yang secara nurani kemanusiaan
sesungguhnya tak dikehendakinya.

Selain
itu, kepemimpinnya yang berkarakter kuat, terlihat juga dari beberapa
keputusannya yang sangat tidak populis. Keputusan mengenai kenaikan
harga BBM, misalnya, yang mengikuti standar harga dunia. Beberapa tokoh
dan pengamat yang mengandalkan kebijakan populis menentang kebijakan
itu yang kemudian ditambangi demonstrasi beberapa kelompok mahasiswa.

Megawati
tampak sangat menyadari ketidakpopuleran keputusan soal kenaikan BBM,
yang berdampak langsung pada kenaikan harga barang dan jasa lainnya,
itu. Tetapi dia kuat dan bersikukuh mengambil keputusan itu untuk
membangun kemandirian bangsa ini secara komparatif dan kompetitif
dengan bangsa-bangsa di dunia. Baginya, ssudah saatnya subsidi diakhiri
dengan mengandalkan pinjaman (utang) luar negeri. Keputusan yang nyaris
tak pernah diambil pemerintah sebelumnya, sehingga bangsa ini sulit
melepaskan diri dari ketergantungan pada utang luar negeri.

Dia
juga seorang yang jujur dan tulus. Antara lain terlihat ketika kampanye
Pemilu Legislatif berlangsung, PT Telkom mengumumkan kenaikan tarif.
Suatu tindakan naif dari kacamata politik, apalagi dari kacamata pihak
yang menabukan kata kenaikan tarif dan menggantinya dengan kata
penyesuaian. Tapi dia membiarkan jadual kenaikan itu bergulir apa
adanya tanpa harus dipolitisir, misalnya menundanya sampai Pemilu
selesai. Jika dipandang dari sudut pemimpin yang piawai merekayasa,
tentu ini tindakan yang salah.

Dia juga seorang pemimpin yang
berdedikasi dan memiliki loyalitas tinggi kepada komitmen yang telah
disepakati. Lihat saja Kabinet Gotong-Royong yang pelangi dan dibentuk
atas komitmen bersama lintas partai. Kendati telah nyata-nyata ada di
antara menterinya telah menunjukkan sikap mendukung Capres lain, bahkan
mungkin ada yang telah mengkhianati kepercayaannya, dia tetap memegang
komitmen mempertahankan kabinet pelanginya. Padahal sebagai presiden
yang menggenggam hak prerogatif untuk itu, bisa saja dia dengan mudah
mengganti menteri-menteri tersebut. Hanya pemimpin berkepribadian kuat
yang mampu bersikap seperti itu terhadap orang (menteri) yang bisa saja
merongrong kepemimpinannya.

Bukan
itu saja! Salah satu keputusannya yang kontroversial dan mengejutkan
banyak pihak adalah restunya kepada Sutiyoso untuk terpilih kembali
menjabat Gubernur DKI Jakarta. Pada proses pencalonan, Megawati ditekan
oleh berbagai pihak agar jangan merestui Sutiyoso yang menjabat Pangdam
Jaya saat terjadinya Kasus 27 Juli 1996. Demonstrasi kader dan
simpatisan PDI-P marak. Tapi ketika pemilihan berlangsung, demonstrasi
simpatisan PDI-P itu berhenti. Mengejutkan para lawan politiknya.
Sayang keputusan merestui Sutiyoso ini harus dibayar mahal, sebab
Sutiyoso tak tampak berpihak kepada wong cilik. Namun dari kasus ini,
sebagai seorang pemimpin, Megawati telah menampakkan sosoknya yang kuat
dengan kepribadiannya sendiri.

Dengan
intensitas kontroversi yang hampir sama, adalah desakan publik agar dia
mengganti Jaksa Agung. Namun, dia seperti tidak terpengaruh dengan
masih mempertahankannya. Jika ingin mengambil tindakan populis saja,
seorang pemimpin sudah akan mengganti Jaksa Agung itu. Namun, tampaknya
Megawati melihat bahwa saat ini Jaksa Agung itu bukan satu-satunya
titik lemah penegakan hukum di negeri ini. Menurutnya, banyak kasus
korupsi yang telah dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan, ternyata di
pengadilan divonis bebas.

Bukti lain kepemimpinnya yang
berkarakter kuat adalah kerelaannya menerima keputusan politik SU-MPR
2001 yang memenangkan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan
keikhlasannya menerima jabatan Wakil Presiden, kendati PDIP sebagai
pemenang Pemilu. Hanya saja duet "bersaudara" ini tak bertahan lama
akibat keteledoran Gus Dur yang tampak terlalu meremehkannya.

Bukan
saja Gus Dur yang pernah terkesan meremehkan kemampuan kepemimpinan
Megawati. Beberapa politisi dan pengamat juga seringkali menganggapnya
lemah dan tak punya visi. Padahal jika dicermati secara jujur, dia
seorang pemimpin yang kuat, yang berani mengatakan ya atau tidak pada
waktunya. Visioner, konsisten dan tidak mencla-mencle.

Hanya
saja, sifat pendiamnya, yang selain merupakan kekuatan juga menjadi
kelemahan. Karena terkesan kurang berkomunikasi dengan rakyat. Sehingga
lawan-lawan politiknya memanfaatkan sifat pendiam itu sebagai pertanda
kelemahan dan ketidakmampuan.
Maka, jika Megawati belakangan ini
meningkatkan komunikasi kepada publik adalah suatu bukti pula bahwa dia
seorang pemimpin berjiwa besar. Jiwa besarnya, kesabarannya, yang
selalu diam tatkala dicaci-maki, makin bercahaya saat dia menyadari
kelemahan diamnya, selain merupakan kekuatannya.

Kesetaraan Jender
Megawati
adalah sebuah bukti sejarah di mana perempuan mampu memimpin sebuah
negeri. Dia memang bukan satu-satunya perempuan Indonesia yang tampil
sebagai pemimpin. Pada abad ke-14 Tribuana Tungga Dewi adalah peletak
dasar zaman keemasan Majapahit. Sultanah Saifatuddin Syah di Aceh pada
abad ke-16-17, merupakan sultan perempuan pertama di negeri beragama
Islam itu yang mampu memegang tampuk pemerintahan hingga 35 tahun.

Kini,
Megawati diakui dunia sebagai pemimpin perempuan yang kuat dalam ukuran
berskala dunia. Bangsa Indonesia, tidak hanya perempuan, patut
berbangga. Megawati menunjukkan bahwa perempuan pun berhak dan mampu
memimpin suatu negara. Meski isu jender kadang terangkat ke permukaan
seiring pencalonannya sebagai presiden, dia menjawab dengan berupaya
membuktikan kepemimpinannya mengangkat harkat dan martabat rakyat
Indonesia, termasuk kaum perempuan.

Seperti
pernah dikemukakannya di dalam seminar nasional “Kepemimpinan Wanita
Pada Millenium III" di Universitas Gadjah Mada tahun 1999: "Gerakan
penyadaran dan pencerahan akan hak-hak kaum wanita tidak hanya melulu
ditujukan kepada masyarakat kaum wanita saja, tetapi lebih jauh lagi
justru upaya untuk melakukan pencerahan lebih diintensifkan dan
diperlebar ke dalam wilayah kehidupan kaum laki-laki.

Menurut,
Megawati, kaum perempuan harus dengan penuh arif dan bijak membantu
kaum laki-laki agar mereka dapat bebas dan terbatas dari pola pikir
lama yang hanya menempatkan kaum lelaki pada suatu tingkat peradaban
yang memprihatinkan. â"Dalam melakukan hal ini tidak perlu dijalankan
dengan cara-cara yang berdampak melecehkan dan merendahkan martabat
kaum laki-laki," katanya.

Megawati menawarkan suatu strategi
yang meletakkan dan memosisikan wanita sebagai ibu bangsa, sebagai ibu
masyarakat dan sebagai ibu sejati. Dengan pijakan strategi ini,
menurutnya, maka tidak ada alasan bagi kaum wanita untuk melakukan
tuntutan-tuntutan yang hanya akan menimbulkan reaksi penolakan dari
kaum laki-laki yang masih cenderung berpikir dan berpaling ke belakang.

Megawati
juga menganjurkan agar perempuan lebih percaya diri, karena perempuan
yang percaya diri tidak pernah gentar untuk bersaing dan menyaingi kaum
laki-laki dalam konteks persaingan yang sehat. Sedangkan pria yang
percaya diri tidak akan pernah merasa khawatir bila bersaing dan
tersaingi oleh seorang wanita.

Keberhasilan Megawati, menurut
Rika Saraswati, staf Fakultas Hukum dan anggota Pusat Studi Wanita
Unika Soegijapranata Semarang, tidak semata-mata berada di pundaknya,
tetapi dipengaruhi juga oleh kinerja orang-orang di sekitarnya, kaum
perempuan dan kaum laki-laki.

Pilpres Putaran Kedua
Sebelum
Pilpres (Pemilu Presiden) putaran pertama, 5 Juli 2004, tidak sedikit
pengamat politik yang meragukan pasangan Capres-Cawapres Megawati
Soekarnoputri dan KH Hasyim Muzadi (Mega-Hasyim) lolos ke putaran
kedua. Tapi prakiraan para pengamat itu terbantah. Mega-Hasyim meraih
26,65 persen suara, berada di urutan kedua. Urutan pertama diraih
pasangan Susilo BY-Jusuf Kalla (keduanya dibesarkan dalam Kabinet
Gotong-Royong) dengan 33,5 persen suara.

Posisi
Susilo BY dan Jusuf Kalla, yang di atas angin sebagai urutan teratas
telah membuat Susilo BY terkesan meremehkan mesin politik partai-partai
besar. Berbeda dengan Mega-Hasyim yang dianggap berbagai pihak sebagai
underdog membuka pintu komunikasi politik lebar-lebar dengan
partai-partai politik, sehingga melahirkan Koalisi Kebangsaan.

Perihal
koalisi ini, Megawati mendasarinya pada prinsip bahwa pemerintahan yang
akan datang telah diamanatkan oleh perubahan yang dilakukan dalam
konstitusi UUD 1945 melalui amandemen yakni, suatu pemerintahan yang
mekanisme antara eksekutif, legislatif dan yudikatif diharapkan
mempunyai suatu kemapanan, suatu keseimbangan, sehingga dengan demikian
suatu pemerintahan yang solid bisa berjalan dengan baik.

Megawati
mengungkap bahwa dirinya seringkali berdiskusi dengan Wakil Presiden
Hamzah Haz yang juga Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Pak Hamzah, aneh juga kalau ada orang yang bilang bahwa partai (sistem
partai politik) tidak diperlukan, karena yang diperlukan itu dukungan
rakyat," kata Megawati tanpa menyebut nama siapa yang dimaksud.

"Bapak
bisa endak bayangkan kalau saya dipilih oleh rakyat saja, lalu rakyat
suatu saat merasa dukungannya itu tidak diperlukan, lalu mereka
lepaskan dukungannya, kan saya tinggal sendirian. Tetapi, kalau saya
didukung oleh aspirasi rakyat yang dikumpulkan melalui partai-partai
politik, maka, tentunya yang akan menjadi suatu tanggungjawab dan
kewajiban dari partai politik itu adalah bagaimana mereka akan
memberikan dukungannya dan bagaimana mereka akan menyurutkan
dukungannya. Rasanya di seluruh dunia ini, entah saya salah baca apa
tidak, tetapi rasanya sistem pemerintahan itu tetap melalui partai
politik," ungkap Megawati tentang percakapannya dengan Hamzah Haz.

Dalam
hal ini, Megawati memberi pencerahan politik kepada publik. Banyak
pihak menangkap makna pernyataan itu. Antara lain, bahwa orang yang
ingin meraih dukungan rakyat tanpa melalui mekanisme sistem partai
politik suatu saat akan menjalankan kekuasaannya sendirian tanpa
mekanisme yang demokratis, sebab tidak mungkin mengumpulkan rakyat
setiap saat mengambil keputusan.

Tapi kalau seseorang didukung
rakyat melalui mekanisme dan sistem kepartaian, dia akan menjalankan
kekuasaan dalam sistem yang demokratis melalui partai politik, sehingga
dia tidak menjalankan kekuasaan sendirian alias diktator dan otoriter.

Kebersediaannya membagi kekuasaan, menunjukkan
dirinya tidak berpotensi menjadi seorang diktator yang otoriter. Dia
seorang pemimpin yang kuat dengan kepercayaan membagi kewenangan kepada
orang lain baik sebagai mitra maupun sebagai pembantu (menteri).
Kendati dia telah pernah dikhianati oleh dua-tiga orang menteri
(pembantunya), dia tampak tetap pada pendirian untuk mempercayai orang
lain.

Koalisi Kebangsaan dalam kaitan pembagian kekuasaan adalah
wujud dari kemampuan mempercayai orang lain. Ini menunjukkan
kepribadian yang kuat dan tidak selalu mencurigai orang lainnya.
Berbeda dengan orang yang berkepribadian labil dan tak segan
mengkhianati kepercayaan orang lain, dia akan cenderung sangat sulit
mempercayai orang lain dan cenderung menggenggam kekuasaan di tangannya
sendiri.

Bermodalkan Koalisi Kebangsaan yang akan mengggalang
dukungan rakyat sampai ke akar rumput, pasangan Mega-Hasyim ini
diperkirakan akan memenangkan Pemilu Presiden putaran kedua, 20
September 2004. Kemenangan Mega-Hasyim sekaligus akan membuktikan bahwa
mesin politik partai benar-benar telah menjadi sistem penyaluran
aspirasi rakyat secara efektif dan demokratis.

Derap perubahan
Perihal
masalah pembaruan Indonesia, Megawati sangat yakin bahwa semua
menyadari bahwa betapa luasnya lingkup pembaruan yang dicita-citakan
itu. "Secara substansi, kita mengelola perubahan yang menyangkut segi
kelembagaan dan prosedur dalam keseluruhan tatanan. Sekarang kita
ibarat telah berada di tengah derap perubahan ke arah pembaruan itu.
Kita gembira, karena betapa pun kecilnya, kita telah memulai langkah
yang besar," papar Megawati.

Bagai bola salju, lanjutnya, aura
pembaruan atau reformasi tersebut terus menggelinding dan meluas.
Memang harus diakui, acapkali kita sendiri tertegun dengan banyaknya
akibat sampingan yang timbul dan tidak jarang menimbulkan masalah baru
yang bahkan tidak kalah rumit dampaknya. "Berbagai kesulitan yang
saat-saat ini kita hadapi bahkan lebih banyak berkaitan dengan masalah
baru itu," ujar Megawati.

Semula,
papar Megawati, dikatakan bahwa semua itu sekadar eforia yang harus
dipahami dan disikapi dengan sabar. Tetapi, ketika waktu terus berlalu,
semua kian merasakan berlangsungnya banyak hal yang dianggap kurang
menguntungkan. "Di tengah berbagai persoalan dalam gerak perubahan itu
sendiri, kita juga harus mengelola ekses-ekses yang mengikutinya. Di
antaranya dan yang selama ini sering kita rasakan adalah makin kurang
imbangannya sikap dan perilaku kita bila dibandingkan dengan tujuan,
langkah perubahan, dan pembaruan yang dihasilkan," ujarnya.

"Kita
sering kecewa bahwa langkah perubahan tidak kita laksanakan dalam
bentuk dan dengan cara sebagaimana kita harapkan. Begitu pula ketika
dalam rangka pembaruan kita mendambakan kehidupan ke arah yang lebih
demokratis dan mandiri, yang hadir adalah faham tentang kebebasan yang
seolah tanpa batas, dan menyulut pertikaian yang nyaris
memorakporandakan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Kita juga
menghadapi kegetiran baru karena tampilnya keadaan yang kadangkala
dirasa lebih mundur dibandingkan kondisi umum yang pernah kita miliki
di masa sebelum era ini," kata Megawati.

Megawati
menyadari masih belum cukup waktu untuk melakukan perbaikan dan
perubahan berarti di bidang politik dan hukum. Warisan persoalan yang
mengakar dari masa lampau akhirnya malah tampak menjerat langkah
sendiri. Ketenangan penampilannya sebagai pemimpin tidak selalu
menjamin ketenangan di dada masyarakat.

Dia menyadari bahwa
banyak pihak yang tidak puas terhadap kinerjanya, yang menurut sebagian
orang lambat. "Waktu permulaan, ah... Presiden Megawati itu orangnya
lambat, tidak mau cepat memutuskan. Tidak mau ngomong. Ya, biar saja.
Yang penting, ke depannya lebih berguna, daripada buru-buru,
cepat-cepat," katanya dalam suatu acara. Megawati pun optimis, bila
rakyat mempercayainya memimpin bangsa ini lima tahun ke depan, akan
melanjutkan pemulihan ekonomi yang sudah tercapai dengan tingkat
pertumbuhan yang lebih tinggi. â–ºti/crs

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/megawati/biografi/02.shtml