Selasa, 05 Mei 2009

KPK Minus Antasari

Oleh Saldi Isra

Komisi Pemberantasan Korupsi kembali dilanda musibah. Setelah
Suparman, penyidik KPK, menerima suap dalam menangani korupsi PT
Industri Sandang Nusantara, kini musibah menghadang Ketua KPK Antasari
Azhar terkait dengan kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali
Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

Meski status tersangka tidak terkait langsung dengan pelaksanaan tugas
KPK, kejadian yang menimpa Antasari memberikan beban psikologis
berbeda bagi KPK jika dibandingkan dengan kasus suap yang dilakukan
Suparman. Dan, beban itu kian berat dengan posisi Antasari sebagai
Ketua KPK.

Dengan musibah ini, banyak kalangan khawatir kejadian Antasari
potensial dimanfaatkan untuk mendiskreditkan sekaligus mendelegitimasi
KPK. Kekhawatiran itu masuk akal karena para perampok uang negara
tidak pernah merasa nyaman dengan KPK. Bahkan, beberapa episentrum
korupsi yang selama ini sulit disentuh penegak hukum merasa terancam
dengan kehadiran KPK.

Abaikan "warning"

Pada pengujung 2007, saat proses seleksi dan fit and proper test
pimpinan KPK generasi kedua sedang berlangsung, sejumlah kalangan yang
concern dengan pemberantasan korupsi berupaya me- warning tim seleksi
dan DPR untuk berhati-hati dalam memilih pimpinan KPK. Dalam Menjemput
Kematian KPK (Kompas, 5/12/2007) saya pernah mengemukakan, jika gagal
memahami signifikansi kehadiran KPK sebagai extraordinary body dalam
pemberantasan korupsi, hasil seleksi dan fit and propert test akan
menjadi kereta mayat yang bergerak menjemput kematian KPK.

Meski tulisan itu tidak eksplisit menyebut nama, warning itu salah
satunya ditujukan kepada Antasari. Bahkan, hasil rekam jejak
(tracking) yang dilakukan Juli-Oktober 2007, ICW dan sejumlah kalangan
meminta Antasari untuk tidak diloloskan. Namun, warning dan permintaan
itu tidak mampu mengubah keputusan politik saat itu. Celakanya, di
tengah penolakan itu, DPR justru memilih Antasari menjadi Ketua KPK.

Kejadian ini menambah panjang catatan kegagalan DPR dalam memilih
pejabat publik. Apalagi pada proses fit and proper test pimpinan KPK
generasi kedua, isu suap amat menyengat ke permukaan. Karena itu,
menjadi masuk akal jika ada pendapat yang mengatakan, ketidakmampuan
KPK menuntaskan skandal korupsi yang melibatkan anggota DPR merupakan
buah ketidakberesan proses fit and proper test.

Isolasi

Sebagai bagian dari upaya menyelamatkan institusi KPK, langkah cepat
pimpinan KPK yang lain dengan memberhentikan sementara Antasari
menjadi pilihan tak terelakkan. Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang KPK
menyatakan, dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Maka,
pemberhentian sementara itu harus dibaca sebagai langkah isolasi agar
kewenangan besar yang dimiliki KPK tidak disalahgunakan ketika
pimpinan KPK tersangkut tindak pidana.

Agar tindakan isolasi berjalan efektif, sesuai dengan perintah Pasal
32 Ayat (3) UU KPK, Presiden harus segera mengeluarkan surat
pemberhentian sementara Antasari. Surat pemberhentian presiden itu
menjadi penting agar langkah cepat pimpinan KPK tak dimaknai sebagai
cuti. Sebagaimana dilansir Kompas.com (3/5), Antasari menyampaikan
permohonan cuti kepada pimpinan KPK. Karena itu, pimpinan KPK
dilaksanakan secara presidium. Perlu dicatat, tidak ada istilah cuti
bagi pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana. Apalagi,
secara hukum, "cuti" dan "diberhentikan sementara" punya makna dan
konsekuensi berbeda.

Selain itu, langkah hukum terhadap Antasari harus dilakukan dengan
lebih intensif. Dalam kaitan itu, kepolisian harus segera
menyelesaikan proses awal agar lebih cepat diserahkan ke tahap
berikut. Dari spektrum yang ada, bisa jadi banyak pihak berkepentingan
dengan kasus Antasari. Karena itu, agar kasus ini tidak "masuk angin"
penyelesaian cepat dan tepat menjadi keniscayaan.

Tidak hanya itu, agar kasus Antasari tidak terlalu lama membebani KPK,
jika bukti-bukti keterlibatan cukup kuat, kasus ini bisa segera
dilimpahkan ke pengadilan. Sekiranya hal itu dilakukan, Antasari
segera diisolasi permanen dari KPK. Pasal 32 Ayat (1) Huruf c UU KPK
mengamanatkan, pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan apabila
menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.

Minus Antasari

Kesepakatan pimpinan KPK untuk sementara waktu "melepaskan" kewenangan
Ketua KPK tepat dilakukan untuk memberikan demarkasi tegas antara
Antasari dan KPK guna mempertahankan citra KPK dalam pemberantasan
korupsi. Dengan langkah itu, ke depan KPK akan berjalan tanpa
Antasari. Bahkan bukan tidak mungkin sekiranya kasusnya dilimpahkan ke
pengadilan, keberadaan Pasal 32 Ayat (1) Huruf c UU KPK segera akan
menamatkan karier Antasari di KPK.

Meski tindak pidana kejahatan yang disangkakan tidak langsung terkait
dengan tugas KPK, kasus yang menimpa Antasari tetap akan memberikan
image negatif bagi KPK. Agar hal itu tidak berdampak lebih buruk,
pimpinan KPK harus bekerja ekstra keras. Apalagi, dalam beberapa waktu
terakhir, performance KPK cenderung menurun. Dari sejumlah
perbincangan di antara sesama penggiat antikorupsi, Antasari dinilai
memberikan kontribusi atas penurunan kinerja KPK.

Terlepas dari penilaian itu, sebagai bagian dari penyelamatan KPK,
pimpinan KPK minus Antasari harus mampu memulihkan kepercayaan publik
dengan menuntaskan penyelesaian semua skandal korupsi yang
terbengkalai selama ini. Misalnya, kasus aliran dana YPPI Bank
Indonesia yang melibatkan sejumlah mantan petinggi BI dan elite
politik di DPR. Sejauh ini, KPK seperti kehilangan nyali menyentuh
anggota DPR yang terindikasi menerima aliran dana itu. Atau,
penyelesaian kasus Agus Condro yang untouchable tidak tentu rimbanya.

Sekiranya pimpinan KPK minus Antasari mampu menyelesaikan aneka
skandal korupsi yang tidak tuntas karena tebang pilih, harapan dan
kepercayaan publik tidak akan pernah pudar kepada KPK.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi FH
Unand, Padang


Klipin kompas.com