Kamis, 31 Juli 2008

Kerendahan Hati Menenangkan Jiwa

Bila suatu saat, kamu merasa tertekan, gagal dan akhirnya putus asa...
Pasti itu adalah saat-saat yang sulit untuk kamu lalui.
Saat di mana kamu merasakan semuanya serba salah untuk memulai, serta
serba sulit untuk melakukannya.
Saat kamu kembali berupaya mati-matian, justru semakin
bertambah-tambah kegagalannya.

Lalu apa yang mesti kamu lakukan?

Seseorang, sahabatku, mengatakan:
pertama, jauhkan dirimu, baik itu fisik maupun pikiranmu dari
sana-masalahmu itu.

Kedua, coba telephon sahabat terdekatmu, bukan untuk curhat, tapi
untuk menanyakan keberadaan serta keadaan mereka.

Ketiga, ambillah segelas air masak dingin lalu minum dalam sekali teguk.

Nah sekarang kamu sudah tenang bukan?

Sebenarnya tidak ada yang luar biasa dari kegagalanmu itu.
Aku berpikir, ada beberapa kemungkinan yang mungkin teramat sederhana
untuk kamu pikirkan, setidaknya pada saat kamu dalam kesulitan kecil
itu.
Kesulitan kecil? Ya, kesulitan kecil, itu yang aku katakan! Mungkin
kamu tidak setuju dengan pendapatku, atau malah kamu marah?
Baiklah, terserah kamu
Mari, kita lanjut. Seperti yang sudah aku katakan bahwa ada beberapa
kemungkinan kesulitan-kesulitan kecil yang telah kamu - sadari atau
tidak - telah dilakukan.
Pertama, mungkin kamu terlalu anggap remeh dengan;
1. Keadaan.
Sering orang mengabaikan keadaan dirinya, baik itu fisik maupun
kejiwaan, disaat melakukan pekerjaan itu. Hal ini tak jarang membuat
pekerjaannya tidak maksimal.
Beberapa tahun lalu, tetangga saya, seorang pensiunan Polri, yang tak jauh dari rumah saya, sengaja datang dan menceritakan kalau salah satu balon listrik pada ruang tamunya tidak stabil nyalanya. Saat itu ia dengan sangat memohon kesediaan saya untuk membantunya. Saya yang memang dalam keadaan kurang enak badan serta baru saja mengalami suatu kekecewaan dalam asmara, sudah berusaha menolak secara halus. Akan tetapi rupanya ia benar-benar tidak mau pergi begitu saja tanpa saya, alasanya, malam itu ada tamu!
Akhirnya dengan berat hati saya mengikutinya.
Dalam perjalanan ke rumah tetangga tersebut, entah bagaimana datangnya, rasa lelah seperti mencuat dari seluruh persendian tubuh. Segera saya sadar, bahwa kondisi mental saya sedang meluncur bebas ke tempat yang paling rendah dalam alam kemampuan pikiran saya.
Saya tau, keadaan ini salah buat saya, tapi suatu tanggung jawab telah di letakkan di pundak saya -
saya telah terjebak di dalamnya.

Sesaat sesampai di sana, saya berusaha tenang, dengan duduk sejenak di tempat yang paling nyaman bagi saya. Saya berusaha mengulur- renggang waktu sambil mengajaknya berbicara, menghimpun kekuatan mental saya. Tapi nampaknya ia tidak memahami keadaan saya, sejurus kemudian ia telah pergi ke ruangan lain dan kembali dengan obeng dan tang, lalu menunjukan tempat yang ia curigai sebagai biang kelap-kelipnya lampu, sesaat setelah di hidupkan.
Setelah menganalisa ceritanya, saya melakukan beberapa tahapan tes pada titik-titik yang di curigai.

Jumat, 25 Juli 2008

Lagi-lagi tentang korupsi

Saya berpikir, masalah korupsi memang tidak pernah habis-habisnya karena justru biang keladinya adalah para pengambil keputusan itu sendiri sehingga memang tidak pernah ada titik pemecah rantai setan yang membelenggu Indonesia. Mungkin kita butuh revolusi untuk memutuskan rantai setan korupsi, tapi modal utama kita yakni mental bangsa kita adalah mental korupsi sehingga itu nyaris mustahil. Langkah terakhir adalah kita mesti punya presiden yang BERMENTAL BAIK sebagai pengambil keputusan tunggal agar mau menjadi pionir dalam langkah kongkrit untuk membuat perangkat undang-undang anti korupsi yang sistimmatis. Pak presiden mau?

Jumat, 11 Juli 2008

Hukumlah Koruptor dengan cambukan dan buntungi jari tangannya.

Beberapa hari yang lalu, aku mengomentari beberapa berita pada beberapa media online.
Salah satu yang ku komentari adalah artikel yang memuat berita tentang korupsi.
Komentarku itu-tidak ingat persis kalimatnya-agar para koruptor di hukum cambuk di muka umum, lalu jari tangannya di potong, agar menjadi tanda mata baginya, selama hidup.
Efek utama yang aku harapkan adalah tanggungan malu seumur hidupnya.
Tentunya kita semua bisa membayangkan betapa mengerikannya hukum cambuk itu, sakit yang luarbiasa dengan meninggalkan luka-luka maupun garis-garis memar panjang di sekujur tubuhnya.
Coba anda bayangkan seorang pejabat terhormat mendapat perlakuan seperti itu, di muka umum lagi? Tentu sangat menyakitkan!
Okey, saya lanjutkan lagi, hukuman cambuk itu memang meninggalkan bekas yang mungkin saja bertahun-tahun lamanya, tapi itu pada tubuhnya yang nantinya akan tertutupi pakaian yang di kenakan. Itu berarti rasa malu akan cepat berlalu-walaupun tadinya hukuman itu di lakukan di muka umum, tapi ingatan orang akan segera sirna, apalagi bila pindah ke tempat lain.
Ini tidak membuat hatiku rela begitu saja! Jalan keluarnya adalah hukuman itu di paketkan dengan pemotongan jari tangan yang banyak dan panjangnya sejauh perbuatannya-semakin besar hukuman semakin banyak dan panjang jari yang di potong.
Alasanku memilih di buntungi jari tangan adalah bahwa jari tangan mudah terlihat, pikiranku tangan beserta jarinya adalah organ tubuh yang paling sering di pergunakan di muka umum.
Buntungnya jari tangan akan mudah mempermalukan terhukum dimana saja dan seumur hidupnya-termasuk istri, anak maupun keluarga dekat lainnya. Efeknya setiap orang akan selalu memperingatkan orang-orang dekatnya agar jauh dari perbuatan korupsi.
Oh, ya, masih ada efek lainnya, yakni pembangunan kamar penjara bisa di minimalisir, biaya pelihara koruptor bisa di pangkas dan lalulintas sogok-menyogok bisa di kurangi di rutan-rutan.
Akhirnya-ini yang paling sulit- apakah para pembuat kebijakan mau hukuman seperti ini di jalankan?
Karna-sudah menjadi rahasia umum-kebanyakan para pembuat kebijakan adalah justru biangnya para koruptor, itu berarti bisa senjata makan tuan? Atau kesempatan memperkaya diri sendiri secara instan akan hilang.
Nah, lho?

Kembali ke Hati Nurani

Bila kita tidak lagi menpercayai Allah sebagai Maha Pengasih, dengan tingkah-laku kita yang serba sewenang-wenang; menuduh, memfitnah, membenci bahkan membunuh sesama manusia, saya mengajak kita semua untuk kembali pada hati nurani yang cenderung tidak tega menjahati sesama manusia tanpa memandang suku, ras, dan agama.