Selasa, 17 Februari 2009

Gubernur Boleh Langsung!

Oleh Adhie M Massardi

BELOK kiri boleh langsung! Ini bunyi rambu lalu lintas yang dipasang
di banyak perempatan di seluruh Indonesia di zaman Orba. Ahli bahasa
Indonesia Yus Badudu (almarhum) yang dikenal kritis, karena sering
juga mengeritik cara berbahasa para pejabat negara, termasuk Presiden
Soeharto yang hobi mengubah akhiran "kan" menjadi "ken", kemudian
meluruskan kalimat di rambu lalu lintas itu.
Kata Yus Badudu, sekitar 20 tahun lalu, kalimat yang benar dan efektif
untuk rambu itu adalah: "Belok kiri langsung". Bila pembenarannya
"yang belok kiri boleh langsung", menjadi terlalu bertele-tele.
Padahal agar mudah dipahami, rambu harus sederhana. Koreksian ini
kemudian memang menjadi acuan instansi pembuat rambu lalu-lintas,
DLLAJR
Tapi pasti bukan gara-gara petunjuk "jalan ke kiri lebih cepat" karena
tidak dihambat, bila di zaman 'kegelapan" itu, anak-anak muda di
kampus-kampus,seperti Budiman Sudjatmiko dkk, memilih "jalan kiri".
Juga bukan ekses rambu itu bila sekarang banyak orang mau serba
langsung. Langsung kaya, langsung presiden, langsung gubernur,
langsung bupati, langsung wali kota, langsung anggota DPR, langsung…!
Baru ketika "jalan gubernur" mandeg di Jawa Timur hingga
berbulan-bulan dan menghabiskan uang jajan begitu besar, kita
terperanjat. Cuma bagi Mendagri Mardiyanto yang di masa lalu pernah
menjadi anggota ABRI – kekuatan utama penopang rezim Orba – cara
memecahkan kebuntuan itu mudah saja. Bikin rambu baru: Gubernur tidak
langsung. Seperti di masa kegelapan demokrasi itu!
Maksudnya, untuk gubernur mending ditunjuk presiden saja. Murah
meriah. Tidak ruwet. Gubernur kan kepanjangan tangan pemerintah,
begitu alasannya. Lho, memangnya bupati, walikota, camat, kepala desa,
bukan kepanjangan tangan pemerintah? Kalau bukan kepanjangan tangan
pemerintah, lalu kepanjangan tangan siapa?
Padahal kita tahu, yang bikin jalan menuju bupati macet, jalan ke wali
kota crowded, jalan masuk legislatif stagnan, bukan gara-gara rambunya
yang salah. Tapi akibat jalannya berlubang-lubang, becek, banyak
preman pengutip uang semaunya. Tidak sedikit juga bergajulan yang
menebar "ranjau paku" hingga bikin ban kempes sehingga dia harus
berhenti di tengah jalan.
Makanya, kata para sopir taksi yang pernah saya ajak ngobrol, kalau
jalannya diperbaiki, rambu-rambunya dikontrol dengan benar oleh
petugas yang andal dan kredibel, dan hanya yang punya SIM (surat ijin
menjadi) legislatif, bupati, wali kota, gubernur, presiden, yang boleh
lewat situ, niscaya semua akan lancar dan bermanfaat karena memang
bermartabat.
Jadi bukan menutup jalan itu, lalu memerintahkan kita untuk balik
arah, kembali ke zaman kegelapan!
Demokrasi memang butuh proses. Dan kita tidak boleh meningalkan
demokrasi hanya karena prosesnya yang menyakitkan. Bukankah kita
sekarang bisa berjalan, bisa berlari, karena ketika balita dulu, saat
belajar berjalan, juga jatuh bangun dengan lutut berdarah-darah?
Bayangkan bila orangtua kita dulu menyetop proses berjalan kita hanya
karena anak kesayangannya tidak ingin terluka?
Saya sepakat dengan karib saya Wimar Witoelar. Demokrasi itu ibarat
mesin pompa air. Pada mulanya, yang keluar memang lumpur, lalu air
campur lumpur. Setelah itu baru air jernih. Di tempat-tempat tertentu,
ada yang airnya bisa langsung diminum karena mengandung mineral.
Benar, dalam menempuh jalan demokrasi, kita memang terlalu
tergesa-gesa. Bayangkan, hanya dengan modal pengalaman "milih langsung
pemimpin tingkat kelurahan", kita pakai untuk memilih presiden
langsung. Setelah itu baru milih langsung bupati, wali kota, gubernur.
Jadi jangan kaget bila semua yang terpilih sekarang ini masih
berlumuran lumpur. Munculnya "kuala lumpur" di Sidoarjo, bisa jadi,
untuk menandai semua itu.

Kliping : Forum Pembaca Kompas

Tidak ada komentar: